Tanpa menunggu jawaban dari pemilik rumah, aku membuka pagar rumah Oma Antik. Aku langsung menuju pintu samping untuk memberikan pesanan gamisnya yang baru selesai diobras.Â
"Hei, Putri, masuk, Nak!" ujarnya spontan begitu melihatku berdiri di depan pintu. Aku tersenyum sembari menyodorkan bungkusan plastik warna putih padanya.Â
"Gamisnya Oma."
"Oh, udah jadi, ya? Makasih, ya!" ujarnya lembut. Oma Antik lalu masuk ke kamarnya. Lalu menemuiku lagi seraya menyerahkan dua lembar uang  berwarna merah.Â
"Eh, Oma abis bikin brownies, enak deh! Cobain dulu, ya?" tawarnya penuh percaya diri. Oma Cantika memang masih semangat meskipun tinggal sendirian di rumah yang cukup besar ini. Anak cucunya hanya terlihat sebulan sekali berkunjung. Saat itu keadaan rumahnya langsung ramai. Dan tiba-tiba menjadi sepi--seperti sekarang ini--ketika anak cucunya kembali ke rumah masing-masing. Makanya, Bu Antik memelihara banyak kucing di teras belakang.
"Kucing-kucing itu untuk membunuh sepi dan tempat curahan kasih sayangku sehari-hari," katanya waktu itu.
"Nih, Put, dicicipin. Tapi gak terlalu manis, ya. Oma memang harus ngurangin makanan yang manis-manis biar awet muda," kelakarnya sambil menyodorkan lima potong brownies seukuran tahu, yang ditata dalam piring oval.Â
"Tadinya ini mau aku kasih ke Tejo. Tapi gak usahlah, hatiku masih kesal! kata Bu Antik sambil mencebik. Persis gaya anak kecil yang sedang merajuk. Aku jadi teringat kata orang-orang, 'menghadapi orang tua itu harus sabar. Sebab mereka lama-lama sikapnya akan kembali seperti bocah'. Mungkin hal seperti ini yang dimaksud.Â
Aku hanya tersenyum menanggapinya, sambil mencomot satu potong brownies dan siap memasukkan gigitan pertama ke dalam mulut. Tangan kiriku segera mengambil selembar tisu yang diletakkan disamping piring oval tadi.
Sambil mengunyah, aku masih memperhatikan Bu Antik yang mamatut diri di depan kaca mencoba gamis barunya. Dia terlihat cantik meskipun kerut di wajahnya sudah tercetak tebal di sekitar mata, dahi, dan samping bibirnya.Â
"Oma, cantik! Browniesnya juga enak!" pujiku sambil melap mulut dengan tisu--yang aku yakin belepotan cokelat.Â