"Alaah ... gak usah banyak alasan deh, lu!" potong Opa Tejo. "Udah jelas kucing di sini punya lu semua," tudingnya lagi.Â
"Heh, Tejo! Asal lu tau, ya, kucing gue emang banyak. Tapi gue juga paham kali, ngurusnya," kata Oma Antik sewot. "Semua gue kandangin noh, di belakang rumah. Kandangnya juga gede," timpalnya lagi. "Jadi kalo sampe ada *ai di garasi lu, ya bisa aja kucing garong lewat, trus numpang beol di situ."Â
Brakk!Â
Sepertinya Oma Antik menutup pintu rumahnya keras-keras. Aku tersenyum geli membayangkan wajah nenek yang masih sehat dan terlihat cantik itu membanting pintu. Pasti cemberut dengan bibir maju mengerucut.
"Oh, jadi lu gak mau ngakuin, ya? Woyy, Antiiikk ... sini lu, belom kelar urusan kita! Wah, bener-bener, lu, ya," teriak Opa Tejo semakin emosi melihat Oma Antik yang bersikap acuh tak acuh.Â
Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan menghela napas lagi sebelum melanjutkan jahitanku. Jika banyak pesanan seperti sekarang ini, mau tidak mau aku harus lebih sering mendengar dan menyaksikan drama lakon Opa Tejo dan Oma Antik. Sebab, mesin jahit ini memang kuhadapkan ke arah jalan, tepat menghadap garasi Opa Tejo.Â
Tadinya, maksudku agar mata tidak cepat lelah, jadi bisa sesekali melempar pandangan pada kendaran yang melintas atau orang yang lalu lalang.Â
Di antara beberapa pesanan jahitan, ada gamis milik Oma Antik. Hampir jadi. Tinggal meneruskan menjahit bagian samping roknya lalu menyerahkan ke tukang obras di pasar, besok.Â
Aku membayangkan gamis motif batik warna kuning muda ini semakin cantik dipakai nenek umur enam puluh lima tahun itu. Ah, rasanya aku tak sabar, mengantar gamis ini ke rumah Oma Antik. Aku juga membawa misi khusus berkaitan dengan tetangga sebelah rumahnya itu.Â
***
"Spada ... Oma Cantika! Assalamualaikum!"