Mohon tunggu...
Nugroho Saputro
Nugroho Saputro Mohon Tunggu... -

Kuli partikelir. Tukang foto dan Belajar menulis untuk mengasah pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal 6 Guru Besar Hukum Terbaik di Indonesia

18 Maret 2016   16:16 Diperbarui: 4 April 2017   18:19 21188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa itu guru besar dan apa bedanya dengan Professor?

Menurut UU No.14 Tahun 2005 Pasal 1 (satu) Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.

Sedangkan definisi professor dari Wikipedia adalah sebagai berikut :

Profesor (Latin: "Seseorang yang dikenal oleh publik berprofesi sebagai pakar"; bahasa Inggris: Professor) (atau prof secara singkat) adalah seorang guru senior,dosen dan/atau peneliti yang biasanya dipekerjakan oleh lembaga-lembaga/institusi pendidikan perguruan tinggi ataupun universitas. Di Indonesia, gelar Profesor merupakan jabatan fungsional, bukan gelar akademis.

Ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1 Butir 3, menyebutkan bahwa guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Jika sebelumnya dosen dengan gelar akademis magister (S2), bahkan sarjana (S1) bisa menjadi guru besar/profesor, maka sejak tahun 2007 hanya mereka yang memiliki gelar akademik doktor saja yang bisa menjadi profesor. Hal ini disebabkan, karena hanya profesor inilah yang memiliki kewenangan untuk membimbing calon doktor.

Dari beberapa Guru Besar atau Professor hukum di Indonesia ada beberapa yang harus kita ketahui karena keunikan dan kecerdasan mereka di beberapa ilmu hukum.

1. Prof. Erman Rajagukguk (Guru Besar Hukum Universitas Indonesia)

[caption caption="Prof Erman Radjagukguk"]

[/caption]

Sumber Foto : HukumOnline.com

Prof. Erman Rajagukguk (Erman) lahir di Padang pada 1 Juni 1946. Beliau mendapat gelar S.H. (Sarjana Hukum) dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1975 dan kemudian disumpah menjadi seorang advokat oleh Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta pada tahun yang sama. Beliau membuka kantor konsultan hukum Erman & Associates (1975-1980) dan menjadi Konsultan Hukum pada Adnan Buyung Nasution & Associates pada 1980—1982. Selama 1975—1980, Prof. Erman dipercayai sebagai redaktur majalah “Hukum dan Pembangunan” Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Beliau lalu melanjutkan studi ke Amerika Serikat dan memperoleh gelar Master of Laws (LL.M.) dari University of Washington School of Law, Seattle, pada 1984, dan gelar Doktor (Ph.D.) pada 1988 dari universitas yang sama.

Sepulangnya ke Indonesia, Prof. Erman kembali berkegiatan sebagai konsultan hukum dan memberi kuliah di berbagai universitas. Beliau kemudian diangkat sebagai Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1990—1994. Pada 1997, beliau dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tahun berikutnya, beliau diangkat menjadi Direktur Jendral Hukum & Perundang-Undangan Departemen Kehakiman Republik Indonesia sebelum diangkat sebagai Wakil Sekretaris Kabinet Republik Indonesia hingga April 2005. Prof. Erman juga dipercayai sebagai Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 2000—2004.

Prof. Erman menerima penghargaan dari University of Washington Chapter of The Order of the Coif pada 28 November 2001 sebagai penghargaan atas kesetiaan beliau pada dunia akademis dan pengabdian beliau pada masyarakat. Sejak menjadi seorang Guru Besar, beliau telah menjadi promotor bagi 40 doktor Ilmu Hukum, 11 diantaranya kemudian menjadi Guru Besar.

2. Prof. Romli Atmasasmita (Guru Besar Hukum Universitas Padjajaran)

[caption caption="Prof Romli Atmasasmita"]

[/caption]

Sumber Foto : HukumOnline.com

Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK

Prof. Dr. Romli Atmasasmita SH, LLM, dikenal sebagai aktivis antikorupsi dari kalangan akademik yang amat vokal. Guru Besar dan Koordinator Program Doktor Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran, ini selain Koordinator Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi (Forum 2004), dia juga tim ahli United Nations Convention Against Corruption (Konvensi PBB Melawan Korupsi). Dia juga tercatat sebagai tim ahli United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Pada masa persiapan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ayah lima anak ini ditnujuk menjadi Ketua Tim Seleksi Anggota KPK, yang kemudian memilih Taufiequrrachman Ruki selaku Ketua.

Di era pemerintahan Presiden Megawati, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjajaran (Unpad) ini terlibat sebagai anggota Tim Perumus UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang berlaku sampai sekarang untuk menjerat para koruptor. Dia acapkali hadir sebagai saksi ahli dalam perkara-perkara korupsi yang keterangannya selalu dianggap memberatkan terdakwa. Ketika KPK digugat menyangkut eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Romli menjadi saksi ahli yang pro keberadaan Pengadilan Tipikor.

Pria kelahiran Cianjur, 1 Agustus 1944 tersebut, kemudian ditunjuk sebagai Ketua Tim Perumus RUU Pengadilan Tipikor yang belum disahkan sampai saat ini. Mahkamah Konstitusi memberi waktu sampai Desember 2009 untuk pengesahan Rancangan UU tersebut menjadi UU.

Jika melihat perjalanan karir Prof. Romli, orang bisa membayangkan betapa cerdasnya dia. Romli alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (UNPAD), tahun 1969, penyandang Master of Laws dari University of California, Berkeley, tahun 1981, dan Doktor dalam ilmu hukum dengan predikat cum laude dari Universitas Gajah Mada, tahun 1996.

Terhitung 1 Mei 1999, Surat Keputusan Menteri Mendidikan dan Kebudayaan No 35761/A.II.IV.1/KP, tanggal 30 April 1999, mengangkat Romli sebagai Guru Besar Madya dalam Ilmu Hukum Pidana UNPAD. Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia, periode pertama (2005-2008).

Karirnya dimulai sebagai dosen tetap pada Fakultas Hukum Unpad (1971 -saat ini). Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Pasundan (1976-1980), Pembantu Dekan Fakultas Hukum Unpad (1983-1989), Ketua Jurusan Hukum Pidana (1985-1988). Guru Besar dan Guru Besar Luar Biasa Fakultas Hukum UNPAD. Di luar kampus, dia menduduki berbagai jabatan, antara lain Koordinator Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan HAM (1998-2000), Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Departemen dan Hukum dan Perundang-undangan (1998-2000). Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan HAM (2000-2002), Kepala Badan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM (2002-2004).

Menjabat Wakil Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (1990-2008), Kordinator Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Unpad (2004-sekarang), Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana & Kriminologi Indonesia (2008-sekarang). Pengalaman internasional yang dimilikinya, antara lain, Ketua Delegasi RI pada ASEAN Senior Law Official Meeting (ASLOM) Juni 1989 di Singapura; anggota Delegasi RI ke Konferensi Global Antikorupsi, 24-26 Februari 1999, di Washington DC, Amerika Serikat; Ketua Delegasi RI pada Preperation Meeting untuk Konferensi TOC-Wina di Bali 1999.

3. Prof. Nindyo Pramono (Guru Besar Hukum Universitas Gadjah Mada)

[caption caption="Prof Nindyo Pramono"]

[/caption]

Sumber Foto : HukumOnline.com

Membaca puluhan tulisan dalam jurnal dan beberapa eksemplar buku cukup untuk mengenal sosok Nindyo Pramono sebagai salah seorang akademisi yang menaruh perhatian pada isu-isu hukum ekonomi, terutama hukum perusahaan. Tentu saja, mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini tak melulu berkutat di kampus. Ia sering diminta pendapat berkaitan dengan saham dan perseroan terbatas, bahkan BUMN. Namanya juga beberapa kali disebut sebagai ahli dalam persidangan. Semua itu menunjukkan pengakuan terhadap keilmuannya.

Prof Nindyo banyak memberikan pandangan dan pemikirannya tentang hukum bisnis. Prof Nindyo Pramono banyak menuliskan kekhawatirannya melihat tumpang tindih dan ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan. Kini, semakin banyak peraturan yang memuat ancaman pidana bukan saja terhadap orang pribadi, tetapi juga terhadap perusahaan sebagai badan hukum.

 Selain mengenai hukum bisnis, Prof Nindyo Pramono banyak berbicara mengenai isu sanksi pidana terhadap korporasi.

“Kini, semakin banyak Undang-Undang yang memuat tanggung jawab pidana korporasi. Undang-Undang Pornografi sekalipun mengandung klausul semacam itu. Di satu sisi, pengaturan demikian membawa perubahan penting dan positif hukum pidana. Tetapi di sisi lain bisa berdampak buruk jika tidak ada tolok ukur yang jelas dan tegas. Pemilik saham atau korporasi akan berpikir dua kali menanamkan investasi jika terlalu banyak ancaman yang bisa menjerat perusahaan.”

 Dalam dunia bisnis dikenal asas business judgement rule. Ada perlindungan hukum kepada pimpinan perusahaan dalam mengambil kebijakan. Pimpinan perusahaan yang mengeluarkan suatu kebijakan secara sah dan dilandasi iktikad baik, kata Prof. Nindyo, seharusnya tak bisa dipidana. Ironisnya, tak sedikit aturan yang terkesan mengabaikan asas business judgement rule. Ini jugalah yang memprihatinkan penulis buku Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual(2006) itu.

Prof Nindyo Pramono juga menunjukkan keprihatinan terhadap ketidakharmonisan antar regulasi. Sebut misalnya Undang-Undang Perseroan Terbatas dengan Undang-Undang lain tentang Tipikor, BPK, Keuangan negara, Perbendaharaan Negara, Pasar Modal, atau BUMN. Peraturan yang masuk lingkungan hukum bisnis itu kadang saling bertentangan pada segi tertentu. “Harus ada reformasi hukum. Kaidah-kaidahnya harus diperbaiki,” jelas Prof Nindyo.

 Guru Besar Fakultas Hukum UGM itu percaya ada hubungan pencantuman ancaman pidana dalam perundang-undangan bisnis dengan keinginan berinvestasi. Jika hukum tidak pasti, investor akan lari dan mengalihkan investasinya ke negara lain. Dalam konteks pemberantasan korupsi, misalnya, makna dan lingkup ‘kerugian keuangan negara’ atau ‘merugikan perekonomian negara’ masih perlu diperjelas dengan tolok ukur tertentu. Atau, makna ‘kekayaan negara yang dipisahkan’. Frasa ini seringkali menjadi perdebatan di pengadilan. Investor, kata dia, kurang berminat. “Mereka takut dipidana jika mengalami kerugian dan dianggap merugikan kekayaan negara yang dipisahkan”.

 Prof Nindyo berpendapat PT Persero awalnya memang mendapatkan dana dari APBN. Jika sudah dipisahkan maka perseroan itu menjadi Perseroan Terbatas (PT) biasa. Domainnya bukan lagi masuk kekayaan negara, melainkan sudah masuk domain Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

4. Prof. Hikmahanto Juwana (Guru Besar Hukum Universitas Indonesia)

[caption caption="Prof Hikmahanto Juwana"]

[/caption]

Sumber Foto : HukumOnline.com

Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M., Ph.D adalah seorang Guru Besar Hukum Internasional di Universitas Indonesia. Hikmahanto yang mempunyai nama kecil Gihik lahir di Jakarta, 23 November 1965. Ayahnya yang bernama Juwana adalah seorang duta besar, oleh karena itu tidak heran jika Hikmahanto sudah fasih berbahasa Inggris. Selulus SMA pada tahun 1987, Hikmahanto memutuskan untuk mendalami ilmu hukum dengan mendaftar ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

 Setelah menyelesaikan studinya hingga jenjang strata 1, Hikmahanto sempat bekerja di sebuah kantor pengacara. Namun ini tidak berlangsung lama. Hikmahanto memutuskan berhenti dari pekerjaannya setelah hatinya bergejolak melihat dan mengalami berbagai rekayasa dalam hukum. Permainan uang yang menguasai penegakan hukum di Tanah Air dianggapnya sangat melecehkan hati nurani sekaligus sangat membodohkan. Keprihatinannya itu kemudian mempengaruhi perjalanan karir Hikmahanto.

 Setelah berhenti dari pekerjaannya, Hikmahanto memilih kembali ke bangku kuliah untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Dia kemudian berangkat ke Jepang untuk mengambil kuliah pascasarjana di Keio University, Jepang.

 Pada tahun 1992, ia pun meraih Master of Law (LL.M) dari negeri bunga sakura tersebut. Tidak selesai sampai di situ, masih di tahun yang sama, ia langsung mendaftar mengambil program S3 atau doktoral ke Universitas Indonesia. Namun program ini kemudian tidak diselesaikannya. Ia justru mengambil program S3 ke University of Nottingham, Inggris. Pada tahun 1997, suami dari Nenden Esty Nurhayati ini pun berhasil menggondol gelar Doktor of Philosophy (PhD).

 Karir putra pasangan Juwana dan Siti Aisjah ini juga terbilang gemilang di kampusnya sendiri. Hal ini dibuktikan dengan prestasi Hikmahanto yang berhasil menjadi seorang profesor termuda di bidang Hukum Internasional sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) sejak tahun 2004 hingga 2008. Dia juga pernah ditunjuk untuk menjadi Pembantu Asisten Urusan Hak Atas Kekayaan Intelektual pada Asisten Menko Ekuin III, Kantor Menko Ekuin pada bulan Agustus 1999 hingga bulan Juli 2000. Kemudian pada Juli 2000 hingga Februari 2001, ia dipercaya untuk menjabat sebagai Staf Ahli Menko Perekonomian Bidang Hukum dan Kelembagaan.

 Pada pertengahan tahun 2010, saat digelar seleksi Ketua KPK untuk mengisi kursi kosong yang sebelumnya diduduki Antasari, Forum Rektor Indonesia sempat mengusulkan Hikmahanto. Namun mantan anggota Tim 8 ini urung mencalonkan diri karena masa jabatan ketua terpilih itu nantinya hanya satu tahun. Dengan masa jabatan sesingkat itu, ia merasa tidak akan bisa berbuat apa-apa. Lain halnya jika untuk masa 4 tahun, ia baru merasa dapat melaksanakan misinya yakni agar KPK memfokuskan diri pada supervisi institusi hukum dalam memberantas korupsi.

 Belakangan, posisi itu akhirnya diisi oleh seorang advokat muda kelahiran Makassar, Abraham Samad. Walau sudah meraih prestasi sedemikian rupa, pria rendah hati ini tidak pernah melupakan jasa orang-orang yang berperan dalam keberhasilannya. Di antara sekian banyak orang yang dianggap berperan itu, kedua orangtuanyalah yang dianggapnya sangat menentukan keberhasilannya.

5. Prof. Eddy O.S Hiariej (Guru Besar Hukum Universitas Gadjah Mada)

[caption caption="Prof Eddy O.S Hiariej"]

[/caption]

Sumber Foto : HukumOnline.com

Rekornya menyelesaikan program doktoral selama 2 tahun 20 hari belum terpecahkan.

Nama Eddy Hiariej mungkin sudah tak asing lagi di telinga sebagian orang. Pasalnya, Eddy  sudah hampir 10 tahun mondar-mandir di pengadilan untuk berbicara sebagai ahli. Akhir-akhir ini, pemilik nama lengkap Edward Omar Sharif Hiariej ini juga santer terdengar karena diminta menjadi saksi meringankan dalam pemeriksaan Denny Indrayana, mantan wakil Menteri Hukum dan HAM RI.

Eddy merupakan Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Yogyakarta. Ia meraih gelar tertinggi di bidang akademis tersebut dalam usia yang terbilang masih muda. Sebagai perbandingan, bila Hikmahanto Juwana mendapat gelar profesor termuda dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) di usia 38 tahun, Eddy mendapatkan gelar profesornya di usia 37 tahun dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM).

“Saat SK guru besar saya turun, 1 September 2010, saya berusia 37 tahun. Waktu mengusulkan umur 36,” tutur pria kelahiran 10 April 1973 ini. Prof Eddy bercerita, gelar profesor dapat ia raih di usia muda tak lepas dari pencapaiannya menyelesaikan kuliah program doktoral yang ditempuhnya dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan kebanyakan mahasiswa lain. “Orang biasanya begitu sekolah doktor baru mulai riset, saya tidak. Saya sudah mengumpulkan bahan itu sejak saya short course di Prancis. 2001 saya sempat di Prancis 3 bulan. Di Strasbourg. Jadi saya katakan kepada pembimbing saya, Prof. Sugeng Istanto, ‘Prof, saya sudah punya bahan untuk disertasi’,” ujar Eddy.

Setelah mendapat persetujuan menulis, Eddy yang pernah menjadi Asisten Wakil Rektor Kemahasiswaan UGM periode 2002 – 2007, menyelesaikan draft disertasi pertamanya pada Maret 2008. Disertasi Eddy membahas soal penyimpangan asas legalitas dalam pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM). Kurang dari setahun, Eddy pun siap menghadapi ujian terbuka dengan promotor Prof. Marsudi Triatmodjo – sebab Prof. Sugeng sudah meninggal terlebih dulu – dan co-promotor Prof. Harkristuti Harkrisnowo.  “Jadi saya terdaftar sebagai mahasiswa doktor itu 7 Februari 2007, saya dinyatakan sebagai doktor 27 Februari 2009,” kenang Eddy.

“2 tahun 20 hari. Dan memang Alhamdulillah rekor itu belum terpatahkan,” imbuhnya.

Pernah Gagal Masuk Fakultas Hukum

Keinginan dan ketertarikannya akan dunia hukum disampaikan Eddy sudah dimilikinya sejak lama, walaupun ia mengaku tak ingat sejak kapan. Almarhum ayahnya pun pernah menyampaikan kepada Eddy, “kalau saya lihat karakteristikmu, cara kamu berbicara, kamu itu cocoknya jadi jaksa,” ucap Eddy menirukan sang ayah. Meski jadi jaksa bukanlah amanah, tetapi di akhir hayatnya ayah Eddy kembali mengatakan agar Eddy kelak tak jadi pengacara bila benar ingin masuk fakultas hukum. Pesan itu disampaikannya ayahnya saat itu Eddy masih duduk di bangku SMA.

“Mungkin dia tahu kalau saya jadi pengacara, nanti orang yang salah dan saya bela   bisa bebas. Itu juga mengapa dia bilang saya untuk jadi jaksa. Ya saya kaget juga waktu itu,” ungkap pria berdarah Ambon ini. Namun, jalan Eddy untuk bisa masuk FH UGM nyatanya tak semulus itu. Di tahun 1992, begitu lulus SMA, Eddy tidak langsung lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). “Saya setahun itu gagal loh masuk Gadjah Mada itu. Jadi tahun 1992 saya tes UMPTN tidak masuk,” ujarnya.

“Saya stres tuh enam bulan. (Karena) saya stres, saya liburan ke mana-mana aja udah. Terus enam bulan kemudian, mulai Desember, saya betul-betul intens belajar sampai UMPTN berikutnya. Baru lah kemudian saya lolos, masuk FH UGM,” pungkas pemilik hobi olahraga tenis, renang, dan juga membaca ini. Di semester lima, Prof. Maria Soemardjono – Dekan FH UGM kala itu – lah yang pertama kali mencetuskan agar Eddy menjadi dosen. Hubungan Eddy dan Prof. Maria diakui Eddy memang sangat dekat sampai-sampai orang mengatakan kalau Eddy adalah anak keempat Prof. Maria.

Pasca wisuda program sarjana yang digelar 19 November 1998, Eddy mengikuti tes penerimaan dosen. “6 Desember 1998 pengumuman dan saya diterima. Mulai 6 Desember itu saya sudah asisten sampai SK saya turun 1 Maret 1999,” papar Eddy. Eddy yang akhirnya lebih memilih menjadi dosen ketimbang jaksa mengatakan senang menjadi dosen karena ia dapat banyak berinteraksi dengan orang, senang karena mau tidak mau ia harus terus belajar dan belajar, dan ia juga senang bisa bebas dari aturan seragam layaknya jaksa.

“Yang keempat, katanya sih tujuh golongan yang masuk surga itu salah satunya adalah golongan yang selalu memberikan ilmunya kepada orang lain,” ujar Eddy seraya tersenyum.

6. Prof. Harjono SH, MLC (Guru Besar Hukum Universitas Airlangga)

[caption caption="Prof Harjono SH MLC"]

[/caption]

Sumber Foto : HukumOnline.com 

Setia pada almamater, sepertinya hal inilah yang tercermin pada riwayat hidup pria kelahiran. Nganjuk, Jawa Timur 31 Maret 1948 ini. Setelah lulus sebagai sarjana muda dari FH Unair, Surabaya, ia kemudian melanjutkan pendidikannya mengambil sarjana hukum pada universitas yang sama (1977). Setelah menyelesaikan program Master of Comparative Law di Southern Methodist University Dallas, Amerika Serikat (1981), ia kembali ke pekerjaan sebagai dosen di Unair untuk mengambil doktor dalam ilmu hukum, selain tetap sebagai staf pengajar di universitas ini.

Sebagai wujud dedikasinya pada bidang ilmu hukum, ia juga memberi kuliah di berbagai universitas, yaitu Universitas Islam Indonesia (Ull Yogyakarta), Universitas Sam Ratulangi Manado, Universitas Islam Malang, Universitas Islam Sultan Agung Semarang, dan Universitas Udayana Denpasar. la juga pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Bangkalan Madura. Kemampuannya sebagai dosen tidak diragukan. Salah satu buktinya, ia meraih gelar sebagai Dosen Teladan Tingkat Nasional pada tahun 1995.

Beragam aktivitas keorganisasian pernah diikutinya, seperti menjadi anggota kehormatan Pusat Studi Hak Asasi Manusia FH Unair, anggota Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, dan Wakil Ketua Asosiasi Pengajar Pengajar HTN/ HAN Jawa Timur. Suami Siti Sundari yang menyukai kegiatan berkebun ini juga adalah Tim Ahli Redaksi Umum Harian Surabaya Post (1991-1993), Tim Ahli Departemen Kehakiman dalam Penyusunan RUU Kewarganegaraaan dan Tim ahli Perancang Peraturan Daerah Kota Surabaya. Terakhir, bapak dari empat anak, yaitu Harika, Dyah, Raditiyo, dan Galih, ini adalah anggota MPR RI unsur Utusan Daerah dari Provinsi Jawa Timur sebelum diangkat menjadi hakim konstitusi.

Hidup dengan penuh kesederhanaan adalah pencerminan dari kesehariannya, sesuai motto yang dipegangnya teguh, yakni "kesederhanaan pangkal kearifan". Ia menyadari sepenuhnya bahwa menjaga komitmen dan konsistensi ini amatlah sulit sehingga hal ini menjadi tantangan baginya tatkala terpilih sebagai hakim konstitusi. Bergantung pada kekuasaan Allah SWT adalah hal yang senantiasa dilakukannya untuk menjaga komitmen dan konsistensi seperti yang diucapkan pertama kali saat terpilih sebagai hakim konstitusi, yaitu "Ya Allah kuatkanlah mental hamba-Mu".

Pendidikan :

S1 FH Universitas Airlangga, 1977

Master of Comparative Law, School of Law Southern Methodist Unversity, Dallars, Texas, AS, 1981

Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga, 1994

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun