Terhitung sejak bulan Maret yang lalu praktis saya dan mungkin sebagian besar orang lainnya menjadi penghuni rumah tetap. Seminimal mungkin untuk tidak ke luar dari rumah. Secara otomatis belajar, bekerja, beribadah dan bermain di rumah saja.
Hal ini harus kita taati demi melindungi diri dari bahaya pandemi yang sedang terjadi. Rindukah untuk menonton film-film di bioskop? Tak perlu lah ditanya lagi. Banyak judul film box office yang seharusnya sudah antre untuk dinikmati. Tapi mau bagaimana lagi, tinggal bagaimana kita yang harus pintar menyiasati.
Kecanggihan teknologi tak perlu diragukan lagi, sekarang cukup dari rumah saja hiburan seperti tayangan film ataupun serial tv sebenarnya juga mudah kita akses melalui layanan streaming baik yang berbayar maupun gratisan.
Sejujurnya tidak banyak genre film yang saya sukai, namun khusus untuk film otobiografi (biopic) seringkali saya pilih untuk mengisi waktu luang sehari-hari. Kalau ditanya kenapa saya begitu menggandrungi film dengan tema-tema seperti ini? Jawabannya sederhana, banyak hikmah yang bisa dipetik, salah satunya pelajaran hidup dari watak atau karakter dalam tokoh utama yang diperankan oleh para pemain dalam film tersebut.
Seperti baru-baru ini saya menemukan sebuah judul film yang menurut saya berkesan, baik dari segi alur cerita maupun sosok yang diangkat. Film berjudul The Music of Silence berhasil membuat saya jatuh hati dan seolah sedang mengiris bawang.
Berdurasi sekitar 115 menit, film tersebut mengisahkan seorang penderita dengan gangguan Glaucoma yang bernama Amos Bardi yang sukses menjadi musisi besar.
Kisah tersebut ternyata diangkat dari kisah nyata Andrea Bocelli sang maestro tenor dunia. Film yang terbilang langka ini secara iseng saya temukan sewaktu mengunduh layanan video streaming dari Mola TV Movies.
The Music of Silence, Jatuh Bangun Andrea Bocelli Menjadi Seorang Musisi
Berdasarkan memoar dari Andrea Bocelli, The Music of Silence merupakan film asing berbahasa Inggris bertemakan perjalanan karir bermusik yang telah rilis sejak 2 Februari 2018 di Amerika Serikat. Film isyarat tersebut disutradarai Michael Radford dengan menggandeng beberapa nama-nama sineas besar yang berasal dari Italia seperti Antonio Banderas, Jordi Molla, Toby Sebastian, Luisa Ranieri, Paola Lavini, Alessandro Sperduti, dan masih banyak yang lain.
Dalam film tersebut, sang sutradara mengupas kisah penyanyi tenor bernama asli Andrea Bocelli melalui sosok bernama Amos Bardi. Beliau lahir di sebuah desa kecil di Tuscany, Italia. Sejak kanak-kanak ia didiagnosa oleh dokter menderita glaukoma okular dengan gangguan penglihatan yang relatif.
Ketika kecil dia menghabiskan tahun-tahun pertamanya bersekolah di sebuah institusi khusus untuk penyandang tuna netra, di mana ia mencari ilmu dan bekerja sama dengan teman-temannya.
Bardi tinggal di perkebunan zaitun dan anggur milik orangtuanya yang merupakan keluarga penganut Katolik taat, tak pelak musik sudah menjadi teman terbaiknya. Sejak itulah Bardi menemukan bakatnya dan perlahan menjadi pemain piano di lingkungan gereja.
Seperti diketahui Andrea Bocelli sendiri memang sejak lahir menderita congenital glaucoma pada umur 12 tahun, dan mengalami kebutaan total akibat kecelakaan saat bermain sepak bola. Tetapi kebutaan tidak menyurutkan langkah Bocelli untuk untuk meraih gelar doktor program studi Ilmu Hukum dan malah sempat berprofesi sebagai pengacara.
Dengan motivasi dari keluarga terutama ibunya dan kegigihan yang kuat, dia berhasil meraih gelar Doktor Ilmu Hukum di University of Pisa dengan mempelajari dokumen khusus berhuruf braille.
Sewaktu siang, ia bekerja sebagai pengacara, dan ketika malam hari masih menyambi bernyanyi di bar. Dengan ketekunan berlatih bersama gurunya, Luciano Bettarini, dirinya terus mengasah kemampuannya.
Perjalanan Karir Amos Bardi
Tanpa sepengetahuan Bardi, ternyata dia memiliki seorang paman yang juga menggeluti musik. Kemudian berbekal dari pamannya lah yang mendaftarkan Bardi dalam kompetisi vokal ketika Bardi SMA. Ia lolos dan berhasil memenangkan kompetisi tersebut, lalu maju ke tingkat yang lebih bergengsi.
Di balik cerita sukses seseorang pastilah menemukan hambatan dan kegagalan demi kegagalan. Meski sebelumnya dia pernah gagal sebelum bertanding karena suaranya tiba-tiba serak. Hal itulah yang menjadi fase frustasi kedua dalam hidup Bardi.
Setelah gagal dalam kompetisi, Amos Bardi menjadi penyanyi kafe. Pada suatu ketika, di kafe bertemulah sebuah keluarga yang sedang merayakan ulang tahun putrinya bernama Elena. Tertarik dengan suara Bardi, hingga akhirnya mereka semakin akrab dan tertarik satu sama lain, lalu menjalin hubungan kasih.
Selain menjadi penyanyi kafe, Bardi juga masih mantap dengan mimpinya sebagai seorang pengacara. Karena itulah, Bardi bekerja di kafe sambil kuliah hukum, hingga akhirnya lulus pada bulan Juni 1984.
Nasibnya sebagai penyanyi dan pengacara terbilang masih fluktuatif. Selama dalam masa bimbang dan ketidakpastian sampai akhirnya suatu ketika Bardi bertemu dengan seorang yang bekerja sebagai tukang servis piano yang mengajak Bardi untuk menemui seorang maestro musik.
Sang maestro (Antonio Banderas) musik tersebut yang membuat Bardi semakin mahir dalam bernyanyi. Pada akhirnya, Bardi mendapat tawaran dari Trani, seorang industrialis musik, untuk berkolaborasi dengan Zucchero, penyanyi rock terkenal pada masanya di Italia.
Tawaran prestisius kolaboratif itu datang karena Luciano Pavarotti berhalangan duet dengan Zucchero. Namun, setelah datang tawaran itu, Trani tidak kunjung memberi konfirmasi ulang pada Bardi hingga dua tahun lamanya.
Namun akhirnya, Elena, yang sudah menjadi istri Bardi dihubungi oleh pihak manajer Zucchero. Hingga pada 3 Mei 1993, Bardi bernyanyi dalam konser besar pertamanya bersama Zucchero.
Berangkatlah Bardi menuju San Remo, pusat para penyanyi opera berkarya. Sejak saat itu, karir Bardi sebagai penyanyi opera dikenal se-Italia, hingga menjadi penyanyi opera kaliber dunia.
Pelajaran Hidup dari Dialog Puitis Dalam Film
Di sepanjang film hingga akhir saya dibuat kagum. Terutama di pertengahan ketika masa-masa jatuh dan bangun. Saya justru banyak menemukan dialog-dialog puitis yang bermakna dalam. Misalnya, ketika pamannya memberikan motivasi tentang potensi suaranya, dia berkata, “Beryanyilah hingga kau tak bisa mendengar suaramu.” Sebuah kalimat yang seolah paradoks namun mengandung makna yang dalam. Apalagi diucapkan ketika Amos Bardi putus harapan.
Bardi pun dengan lirih berujar, “Aku tak mau menjadi orang buta yang mengerjakan pekerjaan sebagaimana orang buta seperti tukang pijat, operator telepon, dan musisi.” Keindahan pilihan diksi juga terlihat dalam dialog awal ketika Bardi pertama kali mengalami kebutaan. Bardi kecil menangis sejadi-jadinya sambil berkata, “Mama bantu aku, kemana perginya matahari? Aku tak bisa melihatnya.
Sangat manusiawi dengan keterbatasan yang dimiliki Andrea Bocelli sejak kecil maka sudah sejawarnya ia seringkali menghadapi kejatuhan hingga mengalami frustasi dan depresi dalam hidup. Tapi hal inilah yang membuat saya terkagum-kagum manakala ia menemukan keputus-asaan, lalu ia kembali bangkit dan menemukan secercah harapan yang ada di depan mata. Semata demi mengejar impian dan cita-citanya dalam bermusik.
Salutnya lagi karakter Amos Bardi terbilang santun, pemaaf dan sangat sabar dalam menjalani kehidupan. Walau sering dikecawakan jiwanya tetap berkobar dan meski memiliki keterbatasan dirinya pun pantang untuk dikasihani.
Oh yaa daripada saya berpanjang lebar menjelaskan isi film, para pembaca setia dan khususnya penikmat film dari Komunitas Komik Kompasiana dapat mengakses judul film The Music of Silence melalui program Mola TV Movies via browser atau dengan mengunduh aplikasi Mola TV.
Sit back, relax and enjoy your movie!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H