Nasibnya sebagai penyanyi dan pengacara terbilang masih fluktuatif. Selama dalam masa bimbang dan ketidakpastian sampai akhirnya suatu ketika Bardi bertemu dengan seorang yang bekerja sebagai tukang servis piano yang mengajak Bardi untuk menemui seorang maestro musik.
Sang maestro (Antonio Banderas) musik tersebut yang membuat Bardi semakin mahir dalam bernyanyi. Pada akhirnya, Bardi mendapat tawaran dari Trani, seorang industrialis musik, untuk berkolaborasi dengan Zucchero, penyanyi rock terkenal pada masanya di Italia.
Tawaran prestisius kolaboratif itu datang karena Luciano Pavarotti berhalangan duet dengan Zucchero. Namun, setelah datang tawaran itu, Trani tidak kunjung memberi konfirmasi ulang pada Bardi hingga dua tahun lamanya.
Namun akhirnya, Elena, yang sudah menjadi istri Bardi dihubungi oleh pihak manajer Zucchero. Hingga pada 3 Mei 1993, Bardi bernyanyi dalam konser besar pertamanya bersama Zucchero.
Berangkatlah Bardi menuju San Remo, pusat para penyanyi opera berkarya. Sejak saat itu, karir Bardi sebagai penyanyi opera dikenal se-Italia, hingga menjadi penyanyi opera kaliber dunia.
Pelajaran Hidup dari Dialog Puitis Dalam Film
Di sepanjang film hingga akhir saya dibuat kagum. Terutama di pertengahan ketika masa-masa jatuh dan bangun. Saya justru banyak menemukan dialog-dialog puitis yang bermakna dalam. Misalnya, ketika pamannya memberikan motivasi tentang potensi suaranya, dia berkata, “Beryanyilah hingga kau tak bisa mendengar suaramu.” Sebuah kalimat yang seolah paradoks namun mengandung makna yang dalam. Apalagi diucapkan ketika Amos Bardi putus harapan.
Bardi pun dengan lirih berujar, “Aku tak mau menjadi orang buta yang mengerjakan pekerjaan sebagaimana orang buta seperti tukang pijat, operator telepon, dan musisi.” Keindahan pilihan diksi juga terlihat dalam dialog awal ketika Bardi pertama kali mengalami kebutaan. Bardi kecil menangis sejadi-jadinya sambil berkata, “Mama bantu aku, kemana perginya matahari? Aku tak bisa melihatnya.
Sangat manusiawi dengan keterbatasan yang dimiliki Andrea Bocelli sejak kecil maka sudah sejawarnya ia seringkali menghadapi kejatuhan hingga mengalami frustasi dan depresi dalam hidup. Tapi hal inilah yang membuat saya terkagum-kagum manakala ia menemukan keputus-asaan, lalu ia kembali bangkit dan menemukan secercah harapan yang ada di depan mata. Semata demi mengejar impian dan cita-citanya dalam bermusik.
Salutnya lagi karakter Amos Bardi terbilang santun, pemaaf dan sangat sabar dalam menjalani kehidupan. Walau sering dikecawakan jiwanya tetap berkobar dan meski memiliki keterbatasan dirinya pun pantang untuk dikasihani.
Oh yaa daripada saya berpanjang lebar menjelaskan isi film, para pembaca setia dan khususnya penikmat film dari Komunitas Komik Kompasiana dapat mengakses judul film The Music of Silence melalui program Mola TV Movies via browser atau dengan mengunduh aplikasi Mola TV.