Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan lebih rendah didorong oleh semakin melambatnya pertumbuhan ekonomi Eropa dan Tiongkok serta negara-negara EM lainnya, ditengah ekonomi Amerika Serikat yang tetap kuat. Apalagi terdepresiasinya Dollar terhadap Rupiah menjadi pemicu banyak pihak yang khawatir bagaimana nasib perekonomian Indonesia ke depan.
Beberapa risiko perekonomian yang terjadi di Indonesia di antaranya berasal dari pengaruh eksternal atau global misalnya seperti pertumbuhan ekonomi global yang lebih lambat, kebijakan suku bunga ketat negara-negara EM untuk mengimbangi kebijakan moneter Amerika Serikat, berlanjutnya penguatan mata uang dolar AS, perpindahan aliran modal negara-negara EM ke negara-negara maju AE (Advanced Economy), melambatnya volume perdagangan dunia dan harga komoditas serta masih tingginya harga minyak.
Namun demikian, prospek perekonomian tahun 2018-2019 masih akan cukup kuat meskipun dibayangi-bayangi oleh risiko eksternal akibat ketidakpastian ekonomi global yang masih tinggi. Pada Oktober 2018 menurut proyeksi IMF pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,1%. Angka ini menjadi optimisme pemerintah bahwa ekonomi masyarakat masih terus tumbuh. Hal ini ditunjukkan dengan daya beli orang-orang Indonesia melalui transaksi RTGS setiap bulannya.
Lalu, bagaimanakah dengan nasib KUKM di tahun 2019?Dalam acara diskusi panel bertajuk "Proyeksi Perekonomian 2019: Tantangan dan Peluang Bagi Koperasi dan UKM di Kantor Kementerian Koperasi dan UKM, Jakarta pada Rabu (7/11) hal ini dijabarkan. Acara yang dimulai sejak pagi tersebut turut menghadirkan narasumber yang kompeten di bidang masing-masing. Di antaranya Bang Ahmad Zabadi selaku Kepala Biro Perencanaan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Mas Juan Firmansyah sebagai Business and Development Sales dari Du'Anyam, Pak Ryan Kiryanto selaku Corporate Secretary & Chief Economist dari Bank BNI.
Bang Ahmad Zabadi terus optimis pertumbuhan koperasi terus terjadi di tengah gejolak ekonomi global. Sebab, selama empat tahun terakhir, terlihat pertumbuhan kontribusi terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia.Â
Zabadi menjelaskan pada 2014, kontribusi koperasi terhadap PDB masih berada di angka 1,71 persen dan meningkat tajam pada 2016 yang mencapai 3,99 persen dan 4,48 persen pada 2017. Untuk tahun ini diprediksikan kontribusi dapat menyentuh lima persen.
Melalui reformasi banyak koperasi yang tidak aktif dan berjalan melenceng dari aturan yang dipangkas. Dampaknya, jumlah koperasi di Indonesia mengalami penurunan. Tetapi dapat dipastikan mereka yang tersisa memiliki kualitas tinggi. Sebut saja terdapat 40 ribu koperasi yang dibubarkan selama empat tahun belakangan ini.
Ke depannya Kementerian KUKM juga akan mendorong tumbuhnya koperasi produksi, konsumen, dan jasa di Indonesia dalam meningkatkan kontribusi PDB koperasi. Dengan penganekaragaman tersebut pengembangan koperasi tidak hanya didominasi oleh Koperasi Simpan Pinjam (KSP) semata saja tapi juga lebih bervariasi.Â
Bang Zabadi juga menambahkan pemerintah juga terus optimis kontribusi UKM terus meningkat seiring dengan pertumbuhan wirausaha baru. Dengan adanya industri kreatif memunculkan banyak peluang. Kemajuan teknologi khususnya IT telah menciptakan berkembangnya perusahaan rintisan (start up) berbasis digital. Hal ini terus tumbuh subur di tengah menatap industri 4.0 yang sudah terotomatisasi (automated) untuk menyokong pertumbuhan perekonomian nasional.
Untuk rasio kewirausahaan (entrepreneurial ratio), Kementerian KUKM masih menggunakan data pada tahun 2016 sebesar 3,1 persen.Â
Hal ini sudah melampaui kriteria negara yang memiliki daya saing global, yaitu sebesar dua persen. Bang Zabadi mengutarakan, Setelah dihitung-hitung tahun ini bisa meningkat menjadi lima persen. Dalam mencapai target tersebut, Bang Zabadi juga mengatakan, Kementerian KUKM fokus dalam membuat gerakan mahasiswa pengusaha yang dibangun bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Gerakan ini mendorong mahasiswa dan para alumninya untuk menjadi pencipta pekerjaan, bukan sekadar menjadi pekerja di sebuah perusahaan.
Akan tetapi Pak Ryan menilai perlambatan pertumbuhan kredit hanya bersifat sementara. Memasuki kuartal pertama (Q1) pada tahun 2019, kredit UMKM akan mengalami kenaikan seiring dengan pertumbuhan kredit korporasi besar. Kalau segmen korporasi tumbuh, UMKM pun ikut tumbuh. Hal ini merupakan implementasi dari value chain (rantai nilai).
Selain pertumbuhan kredit yang melambat, Pak Ryan menambahkan rasio kredit bermasalah (NPL) UMKM juga masih di atas rasio sektor industri. Namun rasio NPL kredit UMKM terus membaik menjadi 4,08 persen pada Agustus dibandingkan pada Juli sebesar 4,31 persen. Hal ini salah satunya dikarenakan penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) yang risiko kreditnya membaik.Â
Sementara itu Mas Juan Firmansyah selaku Business Development & Sales Officer dari UMKM Du'Anyam menyebutkan bahwa tantangan terbesar UMKM saat ini bukan lagi perkara modal atau kredit. Biaya pengiriman atau logistik yang terbilang tinggi menjadi pekerjaan besar bagi para pelaku UMKM. Indonesia yang merupakan negara kepulauan, biaya pengiriman (ekspedisi) dari satu tempat ke tempat lain yang berbeda pulau memerlukan biaya yang relatif tinggi.
Terlepas dari itu semua Mas Juan menilai pasar untuk produk UMKM di tingkat dalam negeri maupun luar negeri akan selalu eksis kok. Hal yang terpenting adalah produk tersebut memiliki ciri khas tersendiri dan mengikuti keinginan pasar. Justru tantangan kita selanjutnya bagaimana dapat berpikir kreatif dan terus berinovasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H