DARI BERMAIN, BELAJAR TOLERANSI
Belajar memiliki kelonggaran atau toleransi, dapat diperoleh dengan media bermain.
"Saya paling jengkel kalau melihat Bobi, bermain di rumah tetangga," ujar seorang Ibu. "Soalnya, sering kali Bobi merusak alat bermain milik anak tetangga yang harganya mahal, Bobi selalu merusakkan mobil-mobilan atau permainan lainnya," tambahnya dengan nada kesal. "Saya juga dibuat pusing dengan Joni, anak saya yang bungsu. Ia sungguh berbeda dengan kakaknya yang diam dan tak banyak tingkah, Joni begitu melihat air di tanah akibat hujan yang baru turun, selalu pulang dengan baju kotor dan jorok," ungkap ibu yang lain.
Beragam keluhan terdengar dari para ibu sehubungan dengan aktivitas bermain anak. Biasanya, seorang ibu berkeinginan meskipun anak bermain, tapi badan anak bersih, alat bermain utuh, dan jangan terlalu rewel.
Sebenarnya, apa yang terjadi pada anak ketika bermain? Sekadar memuaskan dorongan anak untuk bersenang-senang selayaknya dunia anak yang penuh dengan permainan dan kegembiraan, ataukah ada arti lain yang memengaruhi perkembangan psikologis anak?
Pengaruhi Kecerdasan
Bermain bagi anak ternyata juga merangsang perkembangan kecerdasan.
Paul Henry Mussen dan kawan-kawan dalam bukunya Child Development and Personality menyatakan, bahwa bukti dari beberapa riset dalam psikologi membuktikan fakta, anak-anak yang memiliki kesempatan bermain dengan peralatan permainan kompleks ternyata memiliki kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak suka bermain atau tidak memiliki kesempatan untuk bermain.
Bermain bagi anak merupakan media untuk merangsang imajinasi dan fantasi untuk pengembangan aspek kognisi intelektual anak. Seorang anak yang bermain air hujan, sering berimajinasi sedang berada di tengah lautan dan ingin berperan sebagai nahkhoda kapal. la akan tekun membawa kapal-kapalan kecil di tengah gundukan tanah berlumpur dan mengalirkan air bekas hujan seakan-akan berada di sebuah galangan kapal.
Bagi anak-anak petani, mereka membayangkan sedang mengurusi irigasi sawah dan ladang, membangun bendungan, memperbaiki pohon-pohon yang tumbang (dengan menaruh rumput-rumput kecil di gundukan tanah), dan sebagainya. Anak-anak pun bermain peran (role playing) misalnya pasar-pasaran dengan peralatan mini dan uang-uangan, pengantin-pengantinan, dan sebagainya.
Mengarahkan Anak
Melihat anak yang kadang "berantakan" dalam bermain, ada baiknya orangtua peka terhadap maksud dan keinginan anak. Atau, dengan jeli membaca daya imajinasi anak, apa yang dimaui anak dengan alat permainannya.
Mungkin anak membayangkan diri sebagai seorang teknisi, sehingga suka membongkar alat permainannya. Namun bisa jadi, anak belum memiliki kontrol psikomotorik sehingga ia mengalami kesulitan untuk memperbaiki alat permainannya.
Bila anak tak mau dibantu untuk memperbaiki alat bermainnya, hendaknya orangtua tidak memaksa anak menyerahkan alat bermainnya karena anak sedang berproses untuk secara mandiri mengatasi masalah yang dihadapinya.
Arahan orangtua juga membantu anak menemukan alat bermain yang tepat, sesuai dengan keinginan atau imajinasi anak. Permainan berupa balok-balok kecil. Puzzle (gambar, patung, yang berasal dari rangkaian kayu atau kertas terpotong) merupakan alat bermain yang bermanfaat agar anak memiliki fungsi koordinasi dan kemampuan berpikir abstrak untuk divisualisasikan dalam bentuk rangkaian gambar atau miniatur patung.
Belajar Toleransi
Bila anak telah mampu bermain dalam sebuah tim kecil, maka anak pun akan terbimbing untuk mencapai kemampuan penyimpulan (inference) dan kemampuan peran kelompok. Anak belajar toleransi, koordinasi, dan berbagi dalam sebuah tim kecil.
Dalam permainan yang lebih kompleks, anak juga akan belajar untuk mencapai pemikiran relasional. Misalnya pengenalan terhadap konsep lebih tinggi, lebih pendek, lebih gelap, dan sebagainya.
Kecerdasan anak yang diperoleh melalui bermain tidak selalu tampak dalam kemampuan aktual (actual Competence), misalnya nilai rapor. Namun lebih tampak Pada kemampuan anak dalam memecahkan masalah-Masalah yang dihadapinya. Misalnya kemampuan beradaptasi dengan lingkungan baru.
Yang layak dijaga Orangtua adalah jangan sampai anak bermain dalam situasi yang membahayakan jiwanya, dan bukan mencegah anak bermain secara keseluruhan dan memaksanya menjadi "anak manis".
Anak yang terlatih bermain dengan ragam yang amat banyak, apalagi dalam sebuah tim (kelompok), maka ia akan memiliki aspek kognisi maupun toleransi besar sehingga akan memengaruhinya ketika ia memasuki sebuah lingkungan sosial yang menuntut kemampuan anak untuk memecahkan masalah-masalah kompleks.)
Bagaimana jika ada banyak bermain dengan teknologi digital alias main hp?
Wah, yang ini dibahas di tema lain. Permainan yang dimaksudkan banyak berguna bagi anak, dalam konteks artikel ini, adalah permainan dengan objek atau alat nyata di sekitar anak, atau alat permainan edukatif (ape).
Dan sosialisasi anak dengan teman sebayanya. (re-write, 9.12.2022-Endepe)
Referensi: Priyohadi, N.D.,2011, Mengasihi Anak Sepenuh Hati, Yogyakarta: Pustaka Rahmad dan Panduan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H