Mohon tunggu...
Nugroho Endepe
Nugroho Endepe Mohon Tunggu... Konsultan - Edukasi literasi tanpa henti. Semoga Allah meridhoi. Bacalah. Tulislah.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Katakanlah “Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?” (67:30) Tulisan boleh dikutip dengan sitasi (mencantumkan sumbernya). 1) Psikologi 2) Hukum 3) Manajemen 4) Sosial Humaniora 5) Liputan Bebas

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kliping Psikologi Bunuh Diri, Realitas Ekonomi atau Emosi?

31 Januari 2022   16:58 Diperbarui: 2 Februari 2022   20:45 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hidup yang beku ilustrasi depresi (Dokpri)

Singkat cerita, depresi dan hidup tanpa pengharapan  adalah pemicu banyak kejadian bunuh diri. Faktor dominan adalah faktor psikologi manusia, dan bukan ekonomi.

Langkah Edukasi Mental

Agama (formal) dapat dikatakan semakin minim perannya dalam mengedukasi manusia. Agak kontroversial, namun kita lihat agama tidak menjadi alasan untuk tidak bunuh diri. Seharusnya seseorang yang beragama, apalagi di Indonesia, tidak akan berani memutuskan untuk bunuh diri. Alternatif solusi dalam konteks ini ada 3, yakni;

Pertama, pendidikan agama direvisi total dengan fokus untuk meningkatkan ideologi hidup, kesehatan mental dan keberanian untuk hidup. Ritual tetap diperlukan, namun lebih penting bagaimana agar ritual agama semakin bermakna dengan pendalaman individu terhadap eksistensi diri dan keTuhanan.

Kedua, lingkungan keluarga. Keluarga adalah fondasi utama dalam menanamkan sikap mental untuk mampu berjuang menghadapi hidup. Andree Wongso (2013) -- seorang motivator -  mengatakan, siapa yang lunak terhadap diri sendiri, maka dunia akan keras terhadapnya, sementara siapa yang keras (disiplin) terhadap diri sendiri, maka dunia akan lunak (mudah ditundukkan). Menanamkan anak dan keluarga dengan disiplin dan kuat mental adalah penting, termasuk dengan keteladanan.

Ketiga, hendaknya didukung oleh media massa baik cetak maupun elektronik. Sudah jamannya, media massa bergaul dan masuk jauh ke dalam tata nilai (values) pemirsa, yang pada akhirnya mempengaruhi paradigm berpikir seseorang terhadap hidup. 

Sumbu pendek, pragmatism hidup, dan pola pikir instan akhirnya menyebabkan seseorang menjadi lemah mental dan mudah putus asa sampai kepada ketidakmampuan mengahapi stressor, dan akhirnya akan membawa individu dalam situasi depresi dan tanpa harapan.

Realita bunuh diri memang perlu dihadapi dengan multiperspektif. Di balik itu semua, dimensi psikologis tampaknya dominan sehingga kita pun perlu melakukan langkah penting terkait dengan upaya kita meningkatkan kualitas psikologi individu yang bercirikan kuat mental, sehat secara sosial spiritual moral, dan juga keberanian untuk menghadapi hidup yang sejatinya memang selalu penuh tantangan. (*)

BUNUH DIRI, REALITAS EKONOMI ATAU PSIKOLOGIS ?

Oleh: Nugroho Dwi Priyohadi*, naskah artikel pribadi, silakan dikutip dengan sitasi penulisnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun