Apalagi sebagian korban bunuh diri (baca: pelaku), terkadang membuat surat wasiat yang mengindikasikan adanya tekanan ekonomi. Negara-negara miskin lainnya juga diduga motif bunuh diri karena kemiskinan adalah realita yang ada.
Memang, para ahli lain menyebutkan bahwa Korea dan Jepang berbeda. Korea disebabkan karena kepercayaan kuat adanya reinkarnasi (kelahiran kembali), sehingga para muda yang popular namun ada ambisi yang sulit tercapai, memutuskan untuk bunuh diri agar dapat dilahirkan kembali sebagai anak manusia baru.
Sementara di Jepang, bunuh diri dalam konteks hara-kiri (menggunakan pedang samurai), adalah jalan kehormatan apabila menemui situasi kekalahan atau sulit lainnya. Di Amerika Serikat, bunuh diri melalui jembatan San Fransisco dengan cara terjun bebas, dianggap sebagai bentuk keindahan menjumpai maut.
Beberapa ahli juga menyebutkan, tekanan sosial, ekonomi, keterpurukan pemicu bunuh diri termasuk tak memiliki pekerjaan, tekanan belajar atau kerja, masalah keuangan, kehidupan keluarga, dan interaksi sosial serta perasaan kesepian.
Artinya, sejatinya motif bunuh diri tidaklah merujuk pada realitas ekonomi, namun psikologis. Kita coba melihat mengapa faktor psikologis cenderung sebagai factor dominan pemicu bunuh diri.
Realitas Psikologis
Dapat dikatakan bahwa semua agama menentang tindakan bunuh diri. Dan semuanya diancam neraka bagi pelakunya. Dan Indonesia dikenal sebagai Negara yang religious dan beragama. Mengapa kejadian masih saja kita jumpa ?
Asosiasi Psikolog Amerika - American Psychology Association (2015) mengatakan bahwa bunuh diri is "a tragic event with strong emotional repurcussions for its survivors and for families of its victims". Bunuh diri adalah perilaku tragis yang sangat di pengaruhi kondisi psikologis dan emosional bagi korban, dan juga berdampak bagi keluarga korban.
Data di Amerika Serikat mencatat bahwa pada tahun 2010 saja lebih dari 36 ribu orang bunuh diri di Amerika dengan faktor utama penyebab adalah depresi, alienasi (perasaan terasing di tengah keramaian), stress, dan gejalanya semakin banyak pada usia remaja.
Lebih lanjut, kalau kita telusuri psikobiografi (rekam jejak psikologis korban atau pelaku), secara umum sebelum kejadian para pelaku ditengarai suka merenung atau kurang komunikasi, tertutup dengan lingkungan, bermasalah secara sosial, dan pada akhirnya kejadian tragis pun ditemui.
Dari situasi tersebut, kita dapat simpulkan bahwa kejadian bunuh diri lebih banyak dimensi psikologis ketimbang ekonomis. Bila kita menengok bunuh diri di Gunung Kidul DIY yang terkenal dengan mitologi pulung gantung, para korban (atau pelaku) sejatinya juga terisolir secara psikologis, baik karena usia yang tua dan sakit tidak kunjung sembuhatau hidup sendirian ditinggal anggota keluarga yang mukim berjauhan.