Mari kita sejenak belajar hukum kembali. Pemahaman sepintas syukur-syukur mendalam setidaknya akan memudahkan awam memahami logika hukum seperti apa sehingga ada terdakwa vonis bebas namun mengapa masih harus membayar ganti rugi kepada negara.
Kok bisa?
Mari kita bahas sedikit sedikit.
Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi di dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah adanya kerugian keuangan negara/perekonomian negara yang dilakukan secara melawan hukum.
Kerugian negara dapat terjadi karena pelanggaran hukum atau kelalaian pejabat negara atau pegawai negeri bukan bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan administratif atau oleh bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan kebendaharaan.
Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi social (penyakit social) yang sangat berbahaya merugikan dan merusak sendi-sendi ekonomi, bahkan dapat dikatakan mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar. Perampasan dan pengurasan keuangan negara yang demikian terjadi hampir di seluruh wilayah dan menyebar hingga ke daerahdaerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah.
Atas nama otonomi daerah, sempat terjadi banyak kasus yang akhirnya masuk dalam ranah pidana korupsi.
Sebagian bupati walikota gubernur bahkan sudah masuk ke bui.
Lantas bagaiamana jika ada vonis bebas karena memang tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi?
Di sinilah tantangannya. Sama dengan meneliti skripsi thesis disertasi, ada hipotesis jebulnya tidak terbukti.
Bagi kalangan yang disiplin metodologi, hipotesis yang tidak terbukti berarti memporakporandakan konstruktsi teoritis yang dibangun peneliti.
Bagi kalangan ahli hukum, vonis bebas berarti semua alat bukti tidak cukup dan tidak sah untuk menghukum.
Artinya polisi jaksa "gagal" dalam membuktikan sangkaan dan atau dakwaan.
Jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
Terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tersebut berdasarkan pada ketentuan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 tahun1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikatakan bahwa putusan bebas bukan berarti membebaskan terdakwa dari risiko mengembalikan kerugian negara yang telah ditimbulkan.
Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara*
Di sinilah bagaikan pisau bermata dua; tetap tajam bagi terdakwa. Bebas pidana, namun tidak bebas perdata.
Lha kok bisa................ silakan berpikir saya juga berpikir. (9.7.2021/Endepe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H