Mau cerita apa kalau perihal Bank di Indonesia negara tercinta ini? Saya pernah mendapatkan layanan bank di Swedia selama tidak kurang 2 tahunan. Segala sesuatu kelihatan mudah dan simpel.
Petugasnya berbaju casual. Bahkan tidak seperti karyawan bank. Meja-meja transaksi diatur tidak harus menghadap ke meja yang tertutup. Security tidak nampak hanya CCTV yang kelihatan menyala di beragam sudut.
Dan uangnya serba baru kalau ambil di bank. Itu di Swedia.
Bagaimana di Indonesia? Layanan juga semakin bagus lah. Tenaga muda juga semakin kekinian, meja kursi layanan juga semakin keren. Bahkan bisa menghitung sendiri di depan kasir.
Namun antrian masih sering terlalu panjang. Sehingga ada bank yang sampai dikenal sebagai Bank Capek Antri alias BCA.
Kerumitan bank di Indonesia senyatanya masih ada. Ya tidak semuanya lah. Tapi masih ada.
Seperti ketika saya mau membuka deposito. Bank yang punya satpam cekatan, langsung membantu memberi form untuk dicicil isi sebelum masuk ke customer service.
Maka layanan akan cepat.
Namun bank yang satpamnya tidak terlatih, hanya liat liut gak bisa bantu. Dasar satpam tahunya berdiri saja. Tapi tidak semua lho ya.. ada juga yang cekatan membantu.
Maka himbauan saya untuk pengelola manajemen Bank: didiklah satpammu sehingga multi talenta. Bisa bantu isi form, dan disiplin tidak mengintip pin atau password.
Saya punya rekening hampir di semua bank: BRI, BNI, BCA, B MAndiri, BNI Syariah, BSM, sampai Bank Jatim.
Asal usulnya dulu suka ngutang ke Bank, lantas diwajibkan buka rekening. Masih belum ada Bank Syariah ketika itu.
Karena eman-eman rekening mau ditutup, maka saya pelihara saldo supaya tetap tidak terpotong administrasi. Seiring dengan keberuntungan ekonomi, alhamdulillah kalau dibilang sebagai kemapanan, sebagian rekening sudah saya kondisikan agar biaya administrasi tertutupi oleh tambahan bagi hasil deposito.
Tenang, saya juga tidak suka riba. Sebagian rekening juga autodebet ke Dompet Dhuafa dan Pos Keadilan Peduli Umat. Sehingga zakat dan atau bunga pengembangan, otomatis terkirim ke lembaga sosial keagamaan.
Untuk anak bangsa kayak saya yang merasa sangat miskin di periode 1990-1995an, lantas berntung bisa sekolah di Eropa pada periode 2004-2005, serta berntung ada aksesibilitas vertikal secara sosial ekonomi,maka saya hanya selalu beryukur bahwa perbankan di Indonesia semakin hari semakin baik.
Saya juga menginisiasi pembelian emas dalam group karyawan lewat Bank Syariah, dan alhamdulillah itu sangat baik.
Masalah kecil tapi mengganggu, mohon para bankers berpikir dan bertindak cepat, merger bank syariah itu masih belum selesei dalam hal migrasi data IT, sehingga formula dalam sms banking, kode bank BSI belum ada.
Bank Syariah Indonesia bahkan bisa dempetan ada 2 kantor, yang satu eks BNI Syariah, yang satunya eks BSM Mandiri Syariah. Dan keduanya saya punya nomor rekening. Binunk kan..... meski saya yakin kelak akan teratasi dengan integrasi IT yang semakin modern.
Harga saham BSI lewat BRIS juga masih belum stabil. Bank di Indonesia memerlukan banyak sinergi dengan Bank Syariah secara lebih intensif dan terarah.
Saya melihat masih banyak "kegagalan" iklan BSI yang tidak simpatik. Misalnya bintang iklannya sangat tidak populer, atau malah tidak mencitrakan sebuah konsepsi syariah yang modern dan futuristik.
Maka saya menghimbau semoga pengelola Bank Syariah Indonesia semakin smart dalam membaca pasar.
Jika tidak cepat dan cekatan, bukan tidak mungkin Bank Muhammadiyah dan Bank NU akan segera berdiri. Dan artinya segmen nasabah syariah akan semakin hilang atau tipis karena kesedot ke ormas besar tersebut.
Juga kebijakan publik terkait syariah perlu dikelola dengan sebaik-baiknya. Istilah kodran kadrun sebagian melukai komunitas tertentu, dan itu artinya kampanye anti Bank Syariah yang resmi pemerintah, beralih ke Bank lain yang dipandang lebih sesuai.
Memikirkan Bank tidak semata nasabah langsung. Namun juga terkait kebangsaan, nasionalisme, dan kepentingan umat.
Demikian halnya tentang Bank di Indonesia. Tersebab sebagian nasabah kaya di atas 5 milyaran, sebagian memilih negara tetangga untuk simpanan banknya.
Harus ada regulasi yang berpihak kepada rakyat dalam hal ini. Bagaimana bentuknya, silakan dipikirkan atau menyewa saya sebagai konsultan hehehe.....
Intaian krisis bisa sungguh terjadi jika kebijakan perbankan di Indonesia tidak tepat cepat dan akurat. (5.7.2021/Endepe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H