Saya punya rekening hampir di semua bank: BRI, BNI, BCA, B MAndiri, BNI Syariah, BSM, sampai Bank Jatim.
Asal usulnya dulu suka ngutang ke Bank, lantas diwajibkan buka rekening. Masih belum ada Bank Syariah ketika itu.
Karena eman-eman rekening mau ditutup, maka saya pelihara saldo supaya tetap tidak terpotong administrasi. Seiring dengan keberuntungan ekonomi, alhamdulillah kalau dibilang sebagai kemapanan, sebagian rekening sudah saya kondisikan agar biaya administrasi tertutupi oleh tambahan bagi hasil deposito.
Tenang, saya juga tidak suka riba. Sebagian rekening juga autodebet ke Dompet Dhuafa dan Pos Keadilan Peduli Umat. Sehingga zakat dan atau bunga pengembangan, otomatis terkirim ke lembaga sosial keagamaan.
Untuk anak bangsa kayak saya yang merasa sangat miskin di periode 1990-1995an, lantas berntung bisa sekolah di Eropa pada periode 2004-2005, serta berntung ada aksesibilitas vertikal secara sosial ekonomi,maka saya hanya selalu beryukur bahwa perbankan di Indonesia semakin hari semakin baik.
Saya juga menginisiasi pembelian emas dalam group karyawan lewat Bank Syariah, dan alhamdulillah itu sangat baik.
Masalah kecil tapi mengganggu, mohon para bankers berpikir dan bertindak cepat, merger bank syariah itu masih belum selesei dalam hal migrasi data IT, sehingga formula dalam sms banking, kode bank BSI belum ada.
Bank Syariah Indonesia bahkan bisa dempetan ada 2 kantor, yang satu eks BNI Syariah, yang satunya eks BSM Mandiri Syariah. Dan keduanya saya punya nomor rekening. Binunk kan..... meski saya yakin kelak akan teratasi dengan integrasi IT yang semakin modern.
Harga saham BSI lewat BRIS juga masih belum stabil. Bank di Indonesia memerlukan banyak sinergi dengan Bank Syariah secara lebih intensif dan terarah.
Saya melihat masih banyak "kegagalan" iklan BSI yang tidak simpatik. Misalnya bintang iklannya sangat tidak populer, atau malah tidak mencitrakan sebuah konsepsi syariah yang modern dan futuristik.
Maka saya menghimbau semoga pengelola Bank Syariah Indonesia semakin smart dalam membaca pasar.