Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Anwar Abbas mengatakan aturan yang membolehkan industri minuman keras atau investasi miras dapat memicu eksploitasi. Selain itu, banyak tokoh bersuara keras terkait "legalisasi miras" ini, baik dari kalangan muda, tua, dan terutama pasti tokoh agama. Bagi kalangan muslim, hukum miras sudah final, yakni haram untuk diminum, apalagi diproduksi. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah peraturan presiden itu dibuat untuk muslim, atau dikaitkan dengan religiusitas masyarakat?
Bahkan tokoh senior seperti Pak Amien Rais bahkan mengeluarkan video, yang diarahkan ke presiden Jokowi bahwa legalisasi ini akan membawa situasi tidak kondusif, dan ancaman dosa yang sangat besar.
Sebagaimana diketahui, kebijakan perizinan investasi bagi industri miras di Papua, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara telah dituangkan dengan gamblang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal telah diteken Jokowi pada 2 Februari 2021. Dalam hal ini, kita perlu memahami, meskipun bukan berarti lantas membenarkan secara langsung. Ada banyak hal bisa jadi alasan di balik Perpres tersebut.
Tujuan "mulia" dari perpres tersebut sebenarnya sangat pragmatis, yakni mengatur, mengendalikan, dan membuat semua mudah diaudit baik dari sisi kontrol "kualitas" produksi miras khususnya tradisional, dan pasti dari sisi ekonomi adalah objek pajak yang potensial.
Namun, sebagian kalangan yang menentang adalah disebabkan dengan Perpres tersebut, dikesankan kepada publik bahwa miras adalah legal, boleh, dan sah di negara Pancasila ini.
UNTUK MUSLIM?
Sebagian besar tokoh muslim bereaksi keras dan lantang menentang ini. Padahal, bukankah jika memang miras tidak boleh dikonsumsi, haram, hukumnya sudah jelas ya jangan dikonsumsi.
Bahkan beberapa tokoh Papua, juga menolak keras terhadap perpres tersebut.
Di luar penolakan itu, rupanya ada peluang investor asing yang mau ditarik ke bumi Nusantara. Ini adalah bisnis dan urusan ekonomi. Tidak terkait dengan agama. Jadi kalau banyak yang menolak, maka yang relevan untuk menolak justru provinsi yang diberikan izin investasi industri miras di Papua, Bali, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Dan yang menolak baru Papua. NTT sudah memproduksi bahakan, miras yang diberinama cantik, Sophia.
Dan tidak ada kaitannya dengan kemusliman warga negara kita. Haram ya haram, jangan diminum. Sama dengan adanya daging babi, ada yang jual dan ada yang beli, bagi yang haram ya jangan mengkonsumsinya.
Kecuali, kalau sampai ada miras dengan logo MUI dan dilabel HALAL, maka semua eksponen aktivis muslim bisa demo tanpa henti.
Dan perpres ini, hanya mengatur dari sisi investasi dan kepentingan bisnis.
Namun demikian, sebagian kalangan juga bertanya apakah Wapres Ma'ruf Amin apakah juga "mengijinkan" adanya perpres miras ini?
Sepertinya ini bukan wilayah Pak Maruf untuk menjelaskan, namun Abu Janda atau bung Deni Siregar yang mampu menerangkan ada apa di balik perpres ini? Tidak tahu juga apakah berdua itu mengerti, lha wong banyak orang juga gak ngerti kok situasinya menjadi kontroversi ini.
Di balik itu, import miras sebenarnya masih banyak, dan diperjualbelikan di pasar. Maka, perpers miras ini layak ditentang karena akan berpotensi matinya miras import.
Apakah demikian juga? Entahlah.................. (01.03.2021/Endepe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H