Meluruskan sejarah yang sudah mendarah daging dalam kurikulum, tidak mudah. Apalagi sampai sosiokultural psikologis masuk dalam urat nadi rakyat. Seperti sejarah traumatis kultural yang sangat menyengat; Perang Bubat. Benarkah perang itu ada? Apakah memang sedemikian lemah seorang Mahapatih Gajah Mada, sehingga tumbang kebesaran jiwa seorang Panglima, hanya oleh dorongan tidak ingin dinihilkan kuasa politik oleh seorang putri dari Kerajaan Pasundan Parahyangan?
Ini yang saya coba menelisik literatur sedikit, karena saya bukan ahli sejarah, mengenai perang Bubat yang melukai budaya Jawa VS Sunda.
Jadi telisiknya dikit-dikitsaja ya gaess.. jika penisirin, silakan menghubungi sejarahwan untuk meneliti lebih lanjut. Disklaimer saya: ini hanya rangkuman dari beberapa sumber, sehingga perlu dicek ricek bagaimana kebenaran narasi dskripsi di artikel ini.
MENGHAPUS LUKA BUDAYA
Sebagaimana diketahui, Raja Mataram Islam Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono Sayidin Panotogomo Khalifatulah Hingkang Jumeneng Kaping Sedoso (HB X), yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, menjalin kesepahaman dengan Gubernur Jawa Barat - ketika itu Aher Ahmad Heriawan - untuk saling memberi nama jalan dengan latar belakang budaya Sunda dan Jawa.
Pemberian nama jalan arteri di Yogyakarta pada tahun 2017 itu, dengan nama raja dan kerajaan besar di Jawa ternyata dalam upaya untuk merukunkan budaya psikologis 2 suku besar di Jawa, yakni Suku Jawa dan Suku Sunda. Hal ini berkaitan dengan rekonsiliasi budaya Jawa dan Sunda, yang selalu dikaitkan dengan sejarah lama, Perang Bubat.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 166 Tahun 2017 tentang Penamaan Jalan Arteri, ruas jalan yang dikenal sebagai ring road dibagi-bagi dengan tujuan sinergi psikologi budaya, yakni menjadi enam nama jalan. Dua jalan menggunakan nama raja besar, dua lain menyandang nama kerajaan, dan sisanya nama tokoh penting sejarah Indonesia modern.
Simpang tiga Jombor sampai simpang tiga Maguwoharjo (10 kilometer) bernama Jalan Padjajaran. Simpang empat Pelem Gurih sampai Jombor (5,8 kilometer) merupakan Jalan Siliwangi. Simpang empat Dongkelan sampai simpang tiga Gamping diberi nama Jalan Brawijaya.
Selanjutnya, simpang empat Janti sampai Ketandan disebut Jalan Majapahit. Simpang empat Dongkelan sampai simpang tiga Gamping dikenal dengan nama Jalan Brawijaya. Simpang empat Wonosari (Ketandan) sampai Imogiri Barat (Wojo) dinamai Jalan Ahmad Yani. Simpang empat Wojo sampai Dongkelan bernama Jalan Prof Dr Wirjono Projodikoro.
Semua media cetak, online, memberitakan bahwa itu bagian dari "rekonsiliasi budaya". Dan memang kenyataannya, dalam rakyat Jawa telah tertanam bahwa "jangan menikahi gadis Sunda, karena orangnya begini begitu, dan lain sebagainya.". Ini merasuk dalam nadi jiwa para lelaki Jawa. Sebaliknya, di Jawa Barat, juga ada himbauan turun temurun, bahwa "jangan menikah dengan orang Jawa, nanti akan begini begitu dan lain seterusnya".
Sungguh ini menikam urat sosiopsikologis kultural dua suku tersebut.