Mohon tunggu...
Nugroho Endepe
Nugroho Endepe Mohon Tunggu... Konsultan - Edukasi literasi tanpa henti. Semoga Allah meridhoi. Bacalah. Tulislah.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Katakanlah “Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?” (67:30) Tulisan boleh dikutip dengan sitasi (mencantumkan sumbernya). 1) Psikologi 2) Hukum 3) Manajemen 4) Sosial Humaniora 5) Liputan Bebas

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Pelabuhan Patimban dan UU Pelayaran

24 Desember 2020   05:29 Diperbarui: 24 Desember 2020   05:50 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal ini jelas menimbulkan masalah bila kita lihat dan bandingkan dengan fakta historis. Pemerintah pada tahun 1983 sebenarnya telah mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan masalah regulator dan operator ini. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 Tahun 1983 tentang Pembinaan Kepelabuhanan, dinyatakan bahwa "pelaksanaan tugas dan fungsi kepemerintahan dalam hal regulator diserahkan kepada Administratur Pelabuhan (ADPEL)". Secara administratif posisi ADPEL adalah berada dalam jaringan birokrasi Departemen Perhubungan.

Kemudian dalam PP tersebut juga dinyatakan bahwa "pelaksanaan tugas pengusahaan, dalam arti sebagai unit komersial, pengelolaan pelabuhan diserahkan kepada Badan Usaha Pelabuhan (BUP)". Secara fisik, BUP yang ada di negara kesatuan Indonesia berbentuk Perusahaan Umum (PERUM) Pelabuhan Indonesia I yang berkantor pusat di Medan, PERUM Pelabuhan Indonesia II berkantor pusat di Jakarta, PERUM Pelabuhan Indonesia III berkantor pusat di Surabaya, dan PERUM Pelabuhan Indonesia IV berkantor pusat di Makasar.

Dalam perkembangannya, PERUM ini berubah bentuk sebagai PT (PERSERO) sebagai upaya adanya meningkatkan fokus fungsi unit komersial, sehingga sekarang kita kenal sebagai PT (PERSERO) Pelindo 1, Pelindo II, Pelindo III dan Pelindo IV.

Selain memang dengan konsiderasi optimalisasi fungsi korporatisasi dan komersialisasi, penunjukan PELINDO I, II, III, dan IV ini juga didasarkan dari hasil riset dan rekomendasi pemerintah pusat sendiri. Melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla), diyatakan bahwa berdasarkan praktik-praktik pelayaran internasional dan nasional (International Shipping Conference), pemerintah menunjuk pelabutan utama di empat lokasi sebagai Four Gateway Policy.

Keempat pintu gerbang tersebut adalah Belawan Medan (PELINDO I), Tanjung Priok Jakarta (PELINDO II), Tanjung Perak Surabaya (PELINDO III), dan Makasar Sulawesi Selatan (PELINDO IV) dan dikenal sebagai operator komersial jasa kepelabuhanan.

Bentuk komersialisasi dan korporatisasi institusi pelayanan jasa kepelabuhan melalui PELINDO ini juga mengacu pada pemahaman UNCTAD (United Nation of Commerce on Trade and development) yang menyatakan bahwa komersialisasi adalah "when the public sector port management is given autonomy and is accountable for its decision and performance."

Dengan kata lain kita lihat bahwa aspek komersialisasi adalah pelimpahan kewenangan negara dalam mengelola fasilitas publik manajemen kepelabuhanan kepada entitas organisasi korporasi. Dengan demikian, organisasi tersebut memiliki kewenangan untuk proses pengambilan keputusan dan setiap kinerjanya dapat dipantau oleh publik.

Dalam konteks korporatisasi, kita lihat bahwa UNCTAD menyatakan bahwa "corporatization is that when public sector organization are transformed to have the legal status of private companies with the government holding the shares, and enterprises in the commercialization stage do not have legal corporate independence, and with corporatization, all land and assets are transferred to the company."

Pemerintah Indonesia melalui Departemen Perhubungan yang melahirkan PP No. 56 sampai dengan PP No. 59 tahun 1991, jelas-jelas telah menunjuk entitas organisasi pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana pengertian dari UNCTAD tersebut, yakni dengan membentuk badan hukum PERUM Pelabuhan Indonesia, dan ditingkatkan menjadi Perseroan Terbatas yang dari aspek legalitas formal juga harus patuh pada UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan. Dengan kata lain, PELINDO telah ditunjuk sendiri oleh pemerintah sebagai operator jasa kepelabuhanan dengan menerapkan prinsip-prinsip komersialisasi dan korporatisasi.

Kontribusi nyata dari PELINDO yang dapat dilihat sampai saat ini adalah diperolehnya laba bersih setiap tahun rata-rata mencapai hampir 2,5 trilyun rupiah dari aset yang tidak sampai 9 trilyun rupiah (data tahun 2010). Data terkini 2020 pasti semakin besar. Untuk IPC atau Pelindo II Jakarta saja pada akhir 2019 yang lalu membuku asset perusahaan senilai sekitar 52 trilyun lebih, dengan ekuitas sebesar tidak kurang dari 16  trilyun dan liabilitas lebih dari 36 trilyun.

Kehadiran Pelindo dalam peran serta membangun masyarakat melalui sumbangan pajak maupun program kemitraan bina lingkungan CSr dan sebagainya, juga semakin banyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun