Mohon tunggu...
Nugroho Endepe
Nugroho Endepe Mohon Tunggu... Konsultan - Edukasi literasi tanpa henti. Semoga Allah meridhoi. Bacalah. Tulislah.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Katakanlah “Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?” (67:30) Tulisan boleh dikutip dengan sitasi (mencantumkan sumbernya). 1) Psikologi 2) Hukum 3) Manajemen 4) Sosial Humaniora 5) Liputan Bebas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Strategi Tertahan Hidup Wong Cilik

11 November 2020   04:46 Diperbarui: 11 November 2020   05:34 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wabah sejak Maret 2020 ini masih terus berjalan. Tidak diketahui, kapan akan berhenti dan hidup normal kembali. Semakin banyak sektor ekonomi terdampak akibat covid19 ini. Selain nyatanya banyak di antara kita yang wafat, baik tersebab langsung atau pun tidak langsung oleh covid19, kenyataannya semakin banyak yang wafat. 

Baiklah, yang wafat biarlah wafat dengan tenang. Yang hidup, perlu terus berjuang untuk melanjutkan nafas dan bertahan di tengah wabah yang tidak diketahui kapan akan sudah. 

Fenomena yang menarik di sekitar kawasan Gresik Surabaya, adalah semakin banyak pedagang pinggir jalan yang berjualan nasi bungkus. Mereka bukan kaki lima. Bukan kaki lima yang menetap di lokasi tertentu. Namun mereka ada yang menggunakan sepeda motor, atau yang mobil bak terbuka roda tiga, ada juga yang model mobil lawas dengan baik belakang dibuka.

Harganya? Dulu, sebelum covid menggejala, sporadis ada yang menjual di kisaran Rp. 8.000 s.d. Rp. 10.000,-. Harga miring dibandingkan dnegan harga makan "resmi" di warung kaki lima yang di kisaran 12 ribuan atau 15 ribuan. 

Nah, sekarang.. di era wabah yang juga menyebabkan banyak buruh dirumahkan dengan alasan work from home, penjual nasi bungkus ini semakin hanya bertebaran. Harganya dibanting sampai di kisaran Rp. 3.000,- atau Rp. 4.500,-. Harga normal yang dianggap murah adalah Rp. 5.000,-. Isinya ya nasi dan lauk sekedarnya. Yang penting kenyang, kata salah satu konsumen. Termasuk kata penjualnya, "murah mas, yang penting mengenyangkan." Apakah ini terkait promo 11 11 ? Hehehe... tidak secara langsung "kali ya, namun dibandingkan rakyat tergoda promo 11 11 di toserba atau plaza-plaza, promo makanan murah jauh menggoda karena langsung berurusan dengan perut. 

Mau minum kopi di mall denga harga 125 ribuan yang didiskon menjadi 89 ribuan? Apakah ini bisa dipromosikan di hari kembar bulan,  promo 11 11 ? Ya, mungkin bagi yang masih berkantung tebel. Bagi wong cilik, itu bisa dibelikan beras untuk hidup sebulan tahukkk.... 

Kembali ke laptop. 

Merebaknya banyak penjual nasi bungkus di pinggir jalan, sangat menarik. 

Ini menarik. Di satu sisi, ini bukti sebagian buruh turun di jalan ikut jualan nasi bungkus. Beralih profesi dari buruh pabrikan, ke wirausaha. Sebenarnya, bisa sangat bagus  jika ditekuni dan bisnis semakin besar. NAmun di sisi lain, mereka jualan nasi bungkus itu sepertinya juga karena terpaksa, bukan karena panggilan jiwa.

Sehingga, kadang kita lihat di titik tertentu dulu ada penjualnya, ternyata sudah berpindah entah ke mana. Unik juga kan, ada penjual nomaden. 

***

Jual menjual makanan murah, biasa juga kan. Fenomena lain yang mengejala adalah lapak-lapak kaki lima semakin banyak. Sebagian memang berjualan, namun sebagian lain kok rasanya seperti upaya menguasai lahan. Disemen, diberi batas-batas ruang, dikasih gerobak, kadang ada yang jualan, kadang tidak.

Ternyata, lahan-lahan kaki lima sebagian dikapling oleh orang tertentu, untuk disewakan kepada penjual yang lain. Sayang sekali, respon aparat satpol PP tidak komprehensif dalam penanganan seperti ini. Jika sudah membesar, ruwet karena banyak macet, baru ribut penertiban.

Sepertinya juga sudah saatnya, aparat pajak itu turun gunung. Dekati rakyat kecil untuk memiliki NPWP, dan dilatih untuk berpikir modern dengan pendidikan pelatihan wirausaha.  Bukan sekedar menunggu di kantor pajak. Dan mengejar-ngejar yang aktif melaporkan pajak. Lhaa.., yang lapor malah dikejar. Yang tidak melapor tidak dikejar. Jadinya sebagian rakyat takut berurusan dengan pajak.  Padahal pajak adalah sumber pendapatan negara modern yang seharusnya bisa diandalkan.

***

Wong cilik  bertahan di era pandemi ini dengan berbagai cara. Idealnya, aparat pemerintahan juga semakin smart dalam melakukan pembinaan khususnya di sektor wirausaha.  Termasuk misalnya kampanye makanan yang higienis, kesehatan lingkungan, kalau nyusuki uang itu tangannya jangan langsung memegang makanan, sehingga bakteri di uang lusuh berpindah ke makanan. Di salah satu sudut kota di Jogja, malah ada yang habis pegang uang, langsung tangannya menyuwir-nyuwir ayam, tidak mencuci tangan dulu. Saya pernah diare 3 hari, dan tersangka saya adalah si penjual gudheg itu, meskipun bisa jadi karena kondisi badan tidak fit. 

Ayo pak pemerintah, bina wong cilik dengan sebaik-baiknya. Ide kreatif bertahan hidup, perlu dibantu dengan ilmu modern sehingga rakyat juga sehat kuat. Tidak asal kenyang, tapi juga sehat dan aman. (11.11.2020/ndp)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun