Laba bersih berjualan aneka produk pangan sehat-alami tergolong lumayan, lebih tinggi dibanding UMP (Upah Minimum Provinsi) per bulan. Untuk keluarga kecil seperti kami jumlah ini bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Nominal pastinya tersebut tergantung sepi-ramainya transaksi. Dalam sebulan berkisar antara 50-100 deals jual-beli.
Sejak awal berdirinya hingga kini, DSA menargetkan harus ada (minimal) satu transaksi setiap hari. Memilih membuka usaha sendiri berarti menjadi bos atas diri sendiri. Tak ada lagi yang akan menggaji kami setiap bulannya. Kalau tidak ada transaksi dan pemasukan dalam sehari bisa tidak makan. Dalam konteks ini, filosofi Kejawen omah mamah (bergerak agar bisa makan) dan ubet ngliwet (aktif agar bisa memasak) kian menemukan relevansinya.
Sejak berwirausaha mandiri kami juga berkomitmen menyisihkan 10% pemasukan sebulan untuk ditabung, 10% lagi untuk amal/dana sosial dan 10% lainnya untuk mencicil utang di Credit Union Cindelaras Tumangkar (CUCT). Baru kemudian sisanya 70% dipakai untuk belanja kebutuhan bulanan. Jangan pernah dibalik karena tak akan tersisa anggaran untuk menabung, beramal/sosial dan mencicil utang.
Analoginya seperti mengisi akuarium. Pertama, masukkan dulu batu karangnya. Kedua, masukkan pasir-pasir lembut. Terakhir, baru diisi air. Kalau dibalik niscaya akan tumpah meluber airnya. Dalam lingkup ekonomi keluarga, ini berarti besar pasak daripada tiang, lebih banyak pengeluaran ketimbang pemasukan. Jadi, mau pemasukan Rp500.000/bulan atau Rp5 milyar per bulan, ingat selalu rumus 10:10:10:70%.
Dalam usaha bisnis, baik online maupun offline, tentu ada pasang-surutnya. Kalau sedang sepi pembeli di dunia maya, saya gencarkan promosi. Caranya dengan berselancar ke grup-grup Facebook dan menawarkan dagangan DSA di situ. Selain itu, saya dan istri juga acap blusukan mencari produk pangan sehat-alami yang baru di desa. Sedapat mungkin mendapatkan langsung dari petani/pengrajinnya langsung karena dengan menyaksikan proses produksi pangan sehat-alami niscaya membuat kami lebih semangat memasarkannya secara on line.
Bagaimana memulainya?
Saya pernah mengalami menjadi pegawai (sebagai guru Bahasa Inggris di SMP), begitu juga istri saya (sebagai ahli gizi di rumah sakit). Tetapi kini kami bersepakat untuk berwirausaha (entrepreneur) secara mandiri. Harapannya, semoga usaha DSA kian maju dan bisa membuka lapangan kerja baru. Maka, kini promosi dan pemasaran tak lagi hanya lewat Facebook tapi juga lewat WA, Line, BBM, Twitter, olx.co.id, dan media sosial lainnya.
Bagi kaum muda yang tidak ingin bekerja formal tetapi ingin membuka usaha sendiri yang kadang mendapat tentangan dari orang tua, solusinya sederhana saja. Silakan tunjukkan dengan bukti pencapaian. Sebab, setiap orang tua mau anaknya bahagia dan sukses. Masih banyak orang tua yang memegang pola pikir lama, yaitu menganggap menjadi pegawai ialah satu-satunya cara untuk hidup layak dan bisa menjamin hari tua. Padahal, di era digital seperti ini terbuka aneka kesempatan bisnis.
Tetapi, sebelum berwirausaha mandiri bergabunglah terlebih dahulu dengan Credit Union (CU). Bagi kami, CU merupakan lembaga keuangan yang (lebih) adil dan manusiawi. Maka, jadikan CU sebagai mitra usaha. Ikutilah kelas-kelas pendidikan dasar dan lanjutan di CU sehingga bisa belajar dan semakin bijak mengelola finansial.
Setelah itu bergabung dengan CU, mulailah usaha dari apa yang disukai. Saya dan istri mencintai dunia pertanian organik dan makanan sehat-alami, oleh sebab itu DSA menjadi pilihan usaha kami di dunia maya. Setialah dan tekuni pilihan usaha tersebut. Pada saat yang sama, tetaplah membuka diri terhadap segala kemungkinan. Kalau target satu hari satu transaksi sudah terpenuhi, bidik juga peluang untuk deal satu transaksi yang nominal keuntungannya relatif besar.
Selama ini, saya dan istri menjual sepeda onthel, lukisan artistik, produk kerajinan tangan, furniture antik, tas rajut, dan sebagainya. Tak jarang saya menjual pula jasa guiding turis domestik atau manca negara bersepeda onthel keliling desa dan tempat-tempat wisata cantik lainnya yang ada di Yogyakarta. Memang, tidak setiap hari ada transaksi barang atau jasa. Tetapi tapi sekali ada satu transaksi, pemasukannya lumayan besar.