Bhiku Sasana Bodhitera dari Vihara Gunung Kidul
"Salam damai, senang sekali bisa hadir di sini,"" sapa Bhiku mengawali orasi budayanya. Ia mengaku suka membaca buku-buku Anand Krishna, sering melihatnya di televisi, tapi baru sekarang dapat bertemu langsung. "Sungguh membahagiakan sekali. Suasana ini memberi pengharapan pada bangsa yang besar, plural, dan majemuk," ujarnya.
Ia tetap optimis, aalaupun peserta yang hadir tidak banyak tetapi mewakili seluruh komponen bangsa. Kita bisa membawa pesan ini ke komunitas kita masing-masing.
Bhiku juga berpendapat bahwa para bapa bagsa kita sangat visioner. Mereka bukan sekedar pujangga, negeri kita sungguh gemah ripah loh jinawi, bahkan ibarat surga di bumi. Tanahnya subur, aneka bunga, buah-buahan, rerumputan tumbuh di sini. Emas dan permata terkandung di dalam bumi Pertiwi.
Tapi ada beberapa anak nakal yang mengadu domba dan hendak menikmati sendiri anugerah tersebut. Khususnya pada beberapa dekade terakhir. Kita berebutan menjadi pejabat, padahal perlu ada juga yang menjadi anggota masyarakat kan?
Bhiku mengajak seluruh peserta yang hadir bertanya pada diri sendiri, "Jangan hanya bertanya pada rumput yang bergoyang, karena jawabannya juga hanya goyangan," ujarnya dengan penuh canda. Mari bertanya pada diri masing-masing, "Persembahan apa yang telah kita berikan pada Ibu Pertiwi sebagai seorang anak bangsa?"
Selanjutnya dari perwakilan umat Hindu. I Wayan Sumerta, selaku Ketua PHDI Yogyakarta menyampaikan dalam orasinya bahwa dalam Hindu ada istilah Brata. Mirip seperti puasa, intinya ialah mawas diri untuk kembali pada Sang Pencipta.
Anand Krishna juga turut menyampaikan orasi budaya. Tokoh humanis lintas agama ini menyatakan tak perlu berkecil hati walau peserta yang hadir sedikit. Ibarat membuat yoghurt, kita hanya membutuhkan 1 sendok teh kecil untuk merubah 1 liter susu. Kalau terlalu banyak malah terlalu asam.