Awalnya begitu sulit, namun dengan teknik tertentu dan sedikit kesabaran akhirnya mereka berani mengekspresikan diri kembali. Cara yang paling ampuh ialah dengan mengajak mereka bernyanyi dan menari. Mereka begitu cepat menghafal lagu Pelangi yang digubah dengan lirik bernuansa kebangsaan, “Oh Indonesia, negeri yang kucinta, beraneka ragam suku dan agama, walaupun berbeda kita tetap saudara, indahnya damainya Indonesia.”
Ada juga pemutaran film anak-anak. Yakni dengan memanfaatkan tembok bangunan stadion sebagai layar. Contoh lainnya ialah kegiatan salah satu stasiun televisi swasta. Mereka menghibur ratusan anak korban letusan Gunung Merapi di pengungsian Stadion Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta. Caranya, dengan memboyong tokoh-tokoh kartun ke barak pengungsian. Sehingga anak-anak berkesempatan menyaksikan idola mereka secara langsung. Hadiah berupa buku bacaan, mainan, dan alat tulis juga membuat mereka tersenyum kembali.
Selain itu, untuk melancarkan ketersendatan pendidikan anak-anak di pengungsian. Pemerintah musti sesegera mungkin mendatangkan para guru dan relawan pendidikan untuk mendampingi proses pembelajaran darurat di barak pengungsian. Karena sampai saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi tercanggih sekalipun tak mampu memprediksi sampai kapan aktivitas Merapi akan kembali normal.
Yang paling menyentuh nurani kemanusiaan ialah kegiatan prajurit Marinir Pasmar-1 Surabaya. Pada Sabtu (13/11) anggota TNI tersebut mengajak anak-anak pengungsi berwisata ke Candi Prambanan. Acara ini diikuti oleh 275 anak dari Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Tujuannya agar anak-anak pengungsi dapat sejenak berekreasi dan mengenal sejarah Candi Prambanan. Warisan budaya nenek moyang nan adiluhung. Pada kesempatan itu, mereka diajak bermain outbond juga. Tentara yang biasanya mengokang senjata kini menggandeng jemari mungil bocah-bocah lereng Merapi.
Inilah berkah terselubung (blessing in disguise) di balik bencana dahsyat erupsi Merapi. Segenap elemen masyarakat madani (civil society), relawan, tim SAR, aparat kepolisian, tentara, seniman, praktisi media, pemerintah, tenaga medis, akademisi, pihak swasta, dll bahu-membahu meringankan beban penderitaan para korban. Mereka bergotong-royong menyumbangkan tenaga, bantuan materiil, dan dukungan moril kepada para pengungsi tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan.