Lebih lanjut, kemampuan otak anak pada masa keemasan ibarat spons (busa). Secara prima mampu menyerap aneka pengetahuan dan pengalaman baru. Perbendaharaan kosakata mereka bisa mencapai 12.000 kata. Ironisnya, situasi di barak-barak pengungsian serba terbatas. Privasi tidak ada sama sekali. Faktor eksternal ini niscaya menghambat pemekaran potensi dalam diri si anak. Bahkan masa ceria untuk bermain dan berkumpul dengan teman sebaya terlewatkan begitu saja.
Â
Rentetan erupsi Merapi jelas menginterupsi kehidupan bocah-bocah lereng Merapi. Akibat insiden post majeur ini, kegiatan belajar di sekolah mereka terpaksa diliburkan. Selain itu, akses ekonomi keluarga dalam mencari nafkah juga terganggu. Hal ini niscaya berimbas pada tersendatnya pemenuhan kebutuhan dasar anak. Bagaimana hendak membeli buku dan mendapat uang jajan bila para orangtua tak bisa berangkat kerja? Karena status gunung Merapi masih Awas.
Â
Â
Â
Rentan Trauma
Â
Berdasarkan pengalaman penulis selama menjadi relawan Pusat Pemuliahan Stres dan Trauma Keliling (PPSTK) Joglosemar yang digagas oleh Anand Krishna pascabencana gempa bumi tektonik Yogyakarta (27 Mei 2006), memang anak-anaklah yang paling rentan mengalami trauma psikis. Karena kondisi kejiwaan yang masih relatif labil. Pada 31 Oktober 2010 dan setiap pekan berikutnya PPSTK juga mengadakan terapi bagi para pengungsi Merapi.
Â
Ratusan warga hadir dan mempraktikkan latihan nafas dan teknik katarsis untuk mengatasi stres dan trauma. Sehingga mereka dapat merasakan kelegaan dan kebahagiaan yang bersumber dari dalam diri. Saat itu kami juga mengajak anak-anak untuk bermain, bernyanyi, menari, menggambar, menulis puisi, dan bercerita. Intinya agar energi stres yang terakumulasi bisa tersalurkan secara memadai, konstruktif, dan kreatif.