Dimuat di Kedaulatan Rakyat, Minggu 21 November 2010
Judul Buku: Orang Miskin Dilarang Sekolah
Penulis: Wiwid Prasetyo
Penerbit: Diva Press
Cetakan: IV, 2010
Tebal: 450 halaman
“Banyak hal yang tak kita ketahui bahkan sampai kita mati pun kita tak pernah mengetahuinya…misteri itu mirip dengan energi yang tak dapat diciptakan dan tak dapat dimusnahkan. “ (Halaman 51)
Buku “Orang Miskin Dilarang Sekolah” ini terinspirasi oleh novel “Laskar Pelangi”-nya Andrea Hirata. Wiwid Prasetyo juga mengangkat tema pendidikan. Kemiripan kedua karya sastra tersebut ialah sama-sama mengambil perspektif wong cilik. Yang notabene harus pontang-panting untuk bisa sekedar mengenyam pendidikan dasar.
Menurut Wiwid sektor pendidikan dan jagat kepenulisan merupakan 2 matra yang saling berkelindan. Pendidikan tanpa keterampilan menulis niscaya menjadikan materi pembelajaran hilang tanpa bekas. Sebaliknya, sekedar paham tulis-menulis tanpa memiliki jiwa kependidikan menyebabkan proses pembelajaran tak memperoleh saluran yang tepat.
Cita-citanya Wiwid sederhana. Yakni menjadi seorang pendidik plus penulis. Di tengah kesibukannya sebagai redaktur di Majalah FURQON, PESANTrend, Si Dul, dan Tabloid Inflo Plus, alumnus Fakultas Dakwah UIN Walisongo Semarang tersebut masih menyempatkan diri menjadi tentor di Bimbingan Belajar Smart Kids (Anak Cerdas).
Kalau di dalam “Laskar Pelangi” kita menjumpai tokoh seperti Lintang, Ikal, Mahar, dan 7 bocah “ajaib” lainnya maka di dalam “Orang Miskin Dilarang Sekolah” kita akan berkenalan dengan 3 tokoh utama, yakni Pambudi, Yudi, dan Pepeng. Pambudi ialah anak seorang penyabit rumput alias tukang ngarit. Setiap hari ia membantu ayahnya memberi makan sapi-sapi di peternakan Yok Ben. Sedangkan Yudi merupakan anak seorang pembuat pisang goreng. Setiap sore ia berkeliling kampung menjajakan dagangannya. Terakhir, Pepeng, ibunya telah meninggal dunia, ia anak semata wayang seorang tukang becak. Setiap hari ia diajak ayahnya mengangkuti kelapa-kelapa dari pasar-pasar malam dengan mengendarai becak dan menempuh jarak (minimal) 25 km.
Semula ketiga bocah tersebut enggan menuntut ilmu di sekolahan formal. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain-main di alam selepas lelah bekerja membantu orang tuanya. Perjumpaan dengan tokoh “Aku” membuka mata mereka. Kendati terbatas secara finansial dan sudah terlambat dari segi usia, mereka tetap harus bisa bersekolah agar tidak hilang dari pusaran sejarah. Sebab, “…kalau menulis itu adalah upaya kita agar tetap kekal abadi, orang yang gemar menulis haruslah bisa membaca, sedangkan ilmu membaca diperoleh dari sekolah.” (Halaman 62)
Buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang mencintai dunia pendidikan. Fakta di lapangan memang serba karut-marut. Tapi perjuangan ketiga bocah dalam novel ini niscaya menginspirasi kita untuk fokus pada solusi pembenahannya. Bukankah salah satu tujuan pendirian Republik ini ialah untuk mencedaskan kehidupan bangsa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H