Semula ketiga bocah tersebut enggan menuntut ilmu di sekolahan formal. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain-main di alam selepas lelah bekerja membantu orang tuanya. Perjumpaan dengan tokoh “Aku” membuka mata mereka. Kendati terbatas secara finansial dan sudah terlambat dari segi usia, mereka tetap harus bisa bersekolah agar tidak hilang dari pusaran sejarah. Sebab, “…kalau menulis itu adalah upaya kita agar tetap kekal abadi, orang yang gemar menulis haruslah bisa membaca, sedangkan ilmu membaca diperoleh dari sekolah.” (Halaman 62)
Buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang mencintai dunia pendidikan. Fakta di lapangan memang serba karut-marut. Tapi perjuangan ketiga bocah dalam novel ini niscaya menginspirasi kita untuk fokus pada solusi pembenahannya. Bukankah salah satu tujuan pendirian Republik ini ialah untuk mencedaskan kehidupan bangsa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H