Dimuat di Dunia Pustaka, Tribun Jogja, Minggu/27 April 2014
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaksi
Judul: Ranjau Biografi
Penulis: Pepih Nugraha
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: 1/Oktober 2013
Tebal : xxii + 178 halaman
ISBN: 978-602-7888-77-7
Saat ini hampir semua koran dan majalah memiliki rubrik sosok. Rubrik "Sosok" di harian Kompas, misalnya, biasa tampil di halaman 16. Sejak Kompas berganti wajah pada 28 Juni 1985, banyak tokoh telah dimuat di sana. Tidak mesti orang terkenal, tapi yang penting biografi singkat mereka memberi inspirasi segar bagi pembaca. Mulai dari nilai kreativitas, orisinalitas, keberhasilan, hingga keunikan orang yang bersangkutan.
Di bagian pendahuluan buku ini, Pepih Nugraha menjelaskan bahwa rubrik "Sosok" menjadi eksklusif karena khusus memuat orang-orang berprestasi atau orang yang mampu menggerakkan orang lain. Bagi wartawan penulisnya, inilah lahan paling demokratis yang terbuka bagi siapa saja. Ada semangat kompetitif konstruktif yang terbangun dengan sendirinya, karena unsur berita "menarik" (interesting) jauh lebih mengemuka dibanding berebut lahan di halaman utama sebuah media yang pasti ditempati berita-berita langsung (straight) dan terkini (update) (halaman xiii).
Kalau dalam buku sebelumnya Menulis Sosok: Secara Inspiratif, Menarik, dan Unik (Penerbit Buku Kompas, 2013), alumnus Fakultas Komunikasi Universitas Padjajaran tersebut banyak berkisah tentang apa saja yang mesti dilakukan (the do) saat menulis sebuah biografi untuk koran atau majalah, maka dalam buku Ranjau Biografi ini pria kelahiran Tasikmalaya, 11 Desember 1964 tersebut mengulas secara terperinci sebelas "ranjau" yang mesti dihindari (the do not). Sebagian besar "ranjau" tersebut pernah ia temukan sendiri berdasarkan pengalaman empiris saat menulis sosok atau biografi singkat.
Misalnya, Cantik Sumber Inspirasi, Tetapi Menyimpan Bahaya Tersembunyi (Ranjau#5). Saat pelopor blog sosial Kompasiana tersebut menulis sosok Alexandra Kosteniuk di Kompas edisi Sabtu, 16 Maret 2002, beberapa rekan jurnalis sontak mengkritisinya. Bukan terkait kualitas atau konten tulisannya melainkan soal pilihan. Kenapa harus Alexandra Kosteniuk yang hanya meraih runner-up juara dunia? Mengapa bukan pecatur asal China, Zhu Chen yang notabebe menjadi juara dunia?
Singkat cerita, muncul asumsi kalau pertimbangannya sekadar isu seksis. Pepih dianggap hanya menulis sosok perempuan yang ia anggap cantik. Alih-alih bersikap resisten, suami Tantri Sulastri tersebut justru senang mendapat pertanyaan kristis dari koleganya. Di lingkungan redaksi Kompas memang biasa terjadi dinamika semacam itu dan sudah dianggap sebagai bagian dari pekerjaan yang wajar. Salah satu pertimbangan Pepih menulis sosok Sasha karena ia seorang dara multitalenta. Dunia Sasha bukan catur semata. Ia juga foto model dan penulis puisi (halaman 81).
Sistematika buku ini terdiri atas 11 bab. Setiap bab memaparkan satu "ranjau" dalam menulis sosok (feature) atau biografi singkat. Tak sekadar beretorika, ayah dua anak tersebut juga memberikan contoh tulisannya yang pernah dimuat di harian Kompas. Pepih juga membuka interaksi lebih lanjut dengan pembaca yang berminat mendalami dunia jurnalistik lewat "sekolah menulis virtual" di http://facebook.com/pepih.nugraha atau di laman blog sosial http://kompasiana.com/pepihnugraha. Gratis dan terbuka untuk umum. Dalam konteks ini, tesis Rene Suhardono menjadi relevan, "Menulis bukan sekadar untuk merasa tahu (knowing), tapi untuk berbagi (sharing) dan berempati (caring)."
"Ranjau" berikutnya adalah Karena Masih Dianggap Bau Kencur (Ranjau#8). Menurut Pepih, selama ini rubrik Sosok Kompas terlalu didominasi oleh sosok-sosok dewasa, bahkan cenderung tua. Padahal baginya, anak-anak adalah inspirasi. "Lebih baik berpaling kepada anak-anak yang berprestasi sejak dini di tingkat dunia daripada mereka yang mungkin kebetulan meraihnya setelah dewasa (halaman 121)."
Fahma Waluya Rosmansyah (12) dan adiknya, Hania Pracika menjadi sosok orang Indonesia termuda yang pernah muncul di rubrik Sosok Kompas. Prestasi kedua tunas bangsa tersebut sangat membanggakan karena mereka tercatat sebagai pembuat aplikasi mobile paling belia di dunia. Fahma dan Hania juga pernah memenangi lomba pembuatan software Asia Pasific Information 2010 di Kuala Lumpur, Malaysia. Lomba tersebut diikuti 16 negara.
Pepih sempat menantang mereka membuat aplikasi ponsel dalam waktu lima menit. Seorang relawan, anak kelas 1 SD, meminta Fahma membuat kupu-kupu. Fahma langsung bekerja di laptopnya. Dengan software Adobe Flash, ia menggambar sebelah sayap kupu-kupu dengan tetikus, sayap satunya lagi tinggal menduplikasi sehingga tak lebih dari satu menit rancangan grafis kupu-kupu selesai. Fahma mewarnai kupu-kupu yang kelak bisa bergerak. Kurang dari empat menit animasi sudah tercipta, tinggal memasukkan suara (halaman 126).
Buku Ranjau Biografi ini sebuah referensi berharga bagi siapa saja yang hendak menulis sosok atau biografi singkat, sehingga dapat terhindar dari jebakan "ranjau". Menyitir pendapat Pepih Nugraha, "Pendekatan jurnalistik diperlukan untuk penulisan biografi daripada metode ilmiah seperti menyusun sejarah. Gunanya agar sosok atau biografi seseorang itu menjadi "hidup" sebagaimana orang menonton film." Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, guru privat bahasa Inggris, editor, dan penerjemah lepas. Tinggal di Kampung Nyutran, Jogjakarta).
[caption id="attachment_304715" align="alignleft" width="300" caption="Dok. Pri"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H