Mohon tunggu...
Nugroho Angkasa
Nugroho Angkasa Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pemilik Toko Online di Dapur Sehat dan Alami, Guide Freelance di Towilfiets dan Urban Organic Farmer. Gemar Baca dan Rangkai Kata untuk Hidup yang lebih Bermakna. Blog: http://local-wisdom.blogspot.com/.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar Rendah Hati, Wirausaha, dan Silaturahmi

6 September 2014   16:14 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:27 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14099694081155268930

Sebagai komparasi, dibandingkan dengan negara-negara lain perkembangan kewirausahaan di Indonesia masih tergolong lambat. Kewirausahaan di Amerika Serikat tercatat mencapai 11 persen dari total penduduknya, Singapura sebanyak 7 persen, dan Malaysia sebanyak 5 persen.  Oleh sebab itu, peluang menjadi wirausahawan dan menciptakan lapangan pekerjaan baru masih terbuka lebar di Indonesia. (Sumber Data: http://www.tempo.co/read/news/2013/02/18/090462035/Minim-Jiwa-Kewirausahaan-di-Indonesia).

Ketiga, silaturahmi guru-murid. Walau kini saya dan Zidan terpisah jarak dan ruang tapi hubungan baik perlu terus dijalin. Terlebih saat ini sarana TIK (teknologi informasi dan komunikasi) begitu memadai sehingga kita bisa bertukar informasi dan sharing power (berbagi kekuatan) secara real time (pada waktu yang bersamaan). Tentu sesuai dengan kemampuan kita di lingkar pengaruh masing-masing.

Hingga kini saya juga tetap menjalin silaturahmi dengan St. Kartono, guru Bahasa Indonesia saya di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta dulu. Selain saya menimba ilmu ihwal skill dan etika menulis, setiap bulan pasti berkunjung ke rumah beliau. Kenapa? Karena  mengantar pesanan beras organik dan telur bebek.

Saya juga sempat merasa pakewuh (sungkan) seperti Zidan, karena Pak Kartono itu guru saya. Awalnya, saya tak mau mengambil untung dari penjualan beras organik dan telur bebek tersebut. Tapi beliau sendiri yang mengatakan agar mengambil untung sewajarnya karena saya telah bersedia mengambilkan beras dari petani organik di Sleman dan mengantarkannya langsung ke rumah. Sehingga uang tersebut bisa untuk mengganti biaya bensin, waktu yang dihabiskan selama perjalanan, dan jasa pengiriman (delivery service).

Secara lebih mendalam, saya pun memaknai gaya hidup mengkonsumsi produk organik bukan sekadar untuk mencukupi kebutuhan pangan semata, tapi wujud kepedulian pada kesehatan diri sendiri dan anggota keluarga tercinta. Selain itu, juga merupakan sikap ramah lingkungan dalam keseharian, serta sebuah apresiasi terhadap jerih payah para petani organik yang telah merawat tanaman dari sejak masa persiapan lahan sampai panen raya tiba. Let's go green! Tentu mulai dari diri pribadi dan keluarga sendiri serta orang-orang terkasih termasuk para guru kita.

Akhir kata, saya percaya pada pepatah berbahasa Inggris, “There is no coincidence.” Tiada yang kebetulan dalam hidup ini. Termasuk perjumpaan antara guru dan murid di ruang kelas. Sekarang barangkali belum terasa manfaatnya, bahkan kadang kita menganggapnya sebagai rutinitas belaka. Tapi niscaya tiba saatnya, kita menyadari makna yang lebih dalam dari relasi guru-murid di masa depan. 

14099694081155268930
14099694081155268930

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun