Mohon tunggu...
Nugraheni Ardiyani
Nugraheni Ardiyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Kriminologi Universitas Indonesia

Tertarik dalam menganalisis fenomena kejahatan, termasuk di dalamnya terkait dengan HAM, lingkungan, anak, perempuan, serta kelompok marjinal

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Aplikasi Psikologi Forensik dalam Upaya Pengungkapan Kejahatan: Menguak Terjadinya Penembakan pada Kasus Duren Tiga

30 Desember 2022   17:18 Diperbarui: 30 Desember 2022   17:38 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Unplash.com

Sepanjang tahun 2022 pada beberapa bulan terakhir ini, kasus terkait penembakan yang menyebabkan terjadinya pembunuhan pada Brigadir J. atau yang dikenal dengan kasus Penembakan Duren Tiga tentunya masih menyita perhatian publik karena kasus yang tidak kunjung usai sebab harus melalui proses panjang dan rumit. 

Dalam hal ini, persidangan demi persidangan telah dilalui demi menempuh upaya penegakan hukum agar terciptanya keadilan bagi korban. Persidangan tersebut tentunya juga telah menghadirkan beberapa ahli untuk dimintai keterangan, seperti contohnya ahli yang bekerja pada bidang Psikologi Forensik.

Lantas, apa sebenarnya Psikologi Forensik itu? Bagaimana praktik dan perannya? Apa kaitannya dalam kasus ini? dan Apa saja tantangan yang dihadapi? Mari kita simak ulasan di bawah ini.

Apa itu Psikologi Forensik?

Forensik berasal dari bahasa Latin yang berarti diskusi publik/debat/arena. Forensik juga dapat diartikan sebagai penerapan metode dan proses ilmiah dalam mengungkap suatu kasus (solving crimes). Sedangkan Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia sesuai dengan teori dan metode ilmiah, sehingga tidak sama dengan common sense.

Terdapat beberapa definisi mengenai Psikologi Forensik oleh beberapa ahli, seperti:

  1. American Psychological Association (APA): Psikologi Forensik adalah praktik profesional oleh psikolog yang bekerja dalam subdisiplin ilmu psikologi, sosial, pengetahuan ilmiah, teknis, atau psikologi khusus hukum untuk membantu penanganan hukum.

  2. Forensic psychology British Psychological Society (BPS): Psikologi Forensik merupakan aplikasi psikologi dalam sistem legal untuk menciptakan kondisi sosial yang lebih aman dan membantu individu menemukan cara menjauhi perilaku kriminal.

  3. Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) dalam Kode Etik Himpsi Bab X Pasal 56: Psikologi Forensik adalah bidang psikologi yang berkaitan dan/atau diaplikasikan dalam bidang hukum, khususnya peradilan pidana. Ilmuwan psikologi forensik dapat melakukan kajian/penelitian yang terkait dengan aspek-aspek psikologis manusia dalam proses hukum, khususnya peradilan pidana.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Psikolog Forensik adalah psikolog yang tugasnya memberikan bantuan profesional psikologi berkaitan dengan permasalahan hukum, khususnya peradilan pidana.

Bagaimana praktik dalam Psikologi Forensik?

Dalam praktiknya, seorang psikolog dalam Psikologi Forensik dapat melakukan pemeriksaan psikologi forensik (asesmen) dan intervensi (treatment) psikologi berimplikasi hukum. Sedangkan ilmuwan psikologi (non-psikolog, asisten psikolog) dalam layanan psikologi forensik dapat melakukan psikoedukasi, pendampingan, maupun wawancara forensik.

Tahapan proses analisis forensik akan melibatkan beberapa hal, seperti: 1) pengambilan pengamatan faktual dari bukti yang tersedia, 2) membentuk dan menguji penjelasan yang mungkin menyebabkan bukti, dan 3) mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang barang bukti tertentu atau kejahatan secara keseluruhan.

Jadi, apa peran Psikologi Forensik?

Psikologi Forensik diperlukan dengan tujuan untuk membantu memberikan keterangan dalam sistem persidangan maupun sistem hukum dengan menyediakan keahlian psikologi yang diperlukan seperti guna menemukan jalan keluar terkait penanganan kasus agar dapat terpecahkan atau terungkap. 

Dalam upaya penegakan hukum, Psikologi Forensik tentunya akan membantu para penegak hukum dalam menangani, memecahkan masalah, serta memberikan masukan dalam mengungkap kasus ini agar para penegak hukum dapat memutuskan secara adil dan tepat, melalui beyond reasonable doubt.

Sehingga, Psikologi Forensik dapat dijadikan sebagai penasihat dan saksi ahli dalam suatu persidangan untuk memberikan keterangan yang dibutuhkan.

Apa kontribusi Psikologi Forensik dalam menguak kasus Penembakan Duren Tiga?

Dalam kasus Penembakan Duren Tiga, Psikologi Forensik tidak hanya membantu para penegak hukum dalam persidangan, tetapi juga berupaya untuk memahami sebab-sebab terjadinya kasus tersebut terjadi dan mengapa pelaku kejahatan melakukan tindakan tersebut. Psikologi Forensik juga berupaya untuk memahami aspek psikologis dari setiap individu yang terlibat di dalamnya, seperti saksi, korban, pelaku termasuk aparat penegak hukum. 

Namun karena korban telah tiada, pemeriksaan hanya dilakukan kepada para pelaku saja. Pemeriksaan ini tentunya akan dilakukan dengan berbagai cara, seperti wawancara semi terstruktur dengan para pihak terkait, asesmen psikologis melalui tes, data informasi dari sumber lain, serta scientific evidence base terkait kasus penembakan Duren Tiga.

Bagaimana Psikolog Forensik menganalisis terjadinya penembakan yang terjadi?

Dalam sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 26 Desember 2022 terkait kasus Penembakan Duren Tiga yang menyebabkan terbunuhnya Brigadir J., terdakwa RE  menghadirkan 3 orang saksi untuk meringankan, salah satunya adalah Reza Indragiri, seorang ahli Psikologi Forensik. Reza sebagai seorang Psikolog Forensik berupaya untuk memahami sebab-sebab terjadinya penembakan terjadi dan mengapa RE selaku terdakwa melakukan penembakan tersebut. 

Dalam hal ini, terkait dengan tanggungjawab akibat perbuatan penembakan yang dilakukan, Reza memberikan keterangan dalam persidangan bahwa penentuan seorang pelaku bertanggung jawab penuh dapat dilihat dan dipastikan apabila pelaku memiliki pemahaman sekaligus kehendak utuh atas perbuatannya, dan begitu sebaliknya. 

Sesuai dengan tahapan proses pada Psikologi Forensik yang telah disebutkan sebelumnya, kadar pemahaman sekaligus kehendak pelaku ini tentunya perlu ditelaah lebih dalam secara keseluruhan.

Ia juga menjelaskan bahwa untuk memahami mengenai perilaku atau perbuatan jahat terhadap individu yang dilakukan terdakwa, akan sangat baik apabila seorang Psikolog Forensik melakukan pemetaan secara komprehensif. 

Hal ini bukan tanpa alasan, sebab setiap manusia akan berinteraksi dan terpengaruh dengan lingkungan, sehingga hal tersebut menyebabkan pemahaman atas perbuatan jahat yang bersangkutan setidaknya harus menyentuh tiga dimensi, yaitu: makro (lingkungan sosial, organisasi, perusahaan, atau kelompok), mikro (sisi kepribadian yang lebih spesifik pada diri individu yang bersangkutan), dan meso (interaksi satu individu dengan individu lain). 

Sebagai seorang saksi ahli dalam bidang Psikologi Forensik, Reza hanya bisa memberikan penjelasan berdasarkan dimensi makro dan meso. Kedua dimensi tersebut saling berhubungan dalam menjelaskan tekanan yang dihadapi oleh terdakwa agar melakukan penembakan tersebut kepada korban atas perintah dari FS yang merupakan atasan RE dalam organisasi pekerjaan yang dijalani. Dimana tekanan tersebut harus ditelaah lebih dalam melalui 3 tahapan proses analisis forensik untuk memastikan apakah klaim tersebut dapat diterima atau tidak.

Sedangkan untuk dimensi mikro, dikarenakan Reza sebagai saksi ahli tidak mengenal RE selaku terdakwa, ia kemudian mengesampingkan dimensi mikro tersebut. Meskipun begitu, sebagai seorang Psikolog Forensik tentunya ia tetap memberikan keterangan berdasarkan pengamatan faktual dari bukti yang ada.

Lalu, apa saja tantangan yang dihadapi Psikologi Forensik?

Seorang Psikolog Forensik tentunya memiliki tantangan dalam menguak kasus yang ditangani seperti waktu yang terbatas dalam hukum acara, adanya berbagai kepentingan yang memicu tekanan dari para pihak lain seperti penegak hukum, kolega, media; adanya masalah personal dan expert bias.

Tidak hanya itu, putusan yang diberikan seorang Psikolog Forensik juga dapat keliru karena beberapa hal, seperti: Kesalahan atau kekeliruan tidak disengaja dari saksi mata (eyewitness errors); Kesalahan pengujian forensik (forensic science testing errors); Kesalahan dari pihak kepolisian (police misconduct); Kesalahan penuntutan (prosecutorial misconduct); Ahli forensik yang memberikan kesaksian palsu atau menyesatkan (false or misleading testimony by forensic scientist); Informan yang tidak mengungkapkan kenyataan sebagaimana aslinya (dishonest informants); Keterwakilan pembela yang tidak kompeten (incompetent defense representations); Saksi awam berbohong (false testimony by lay witness); maupun Pengakuan palsu (false confession).

Meskipun begitu, tentunya dalam penanganan kasus Penembakan Duren Tiga ini, Psikolog Forensik yang dihadirkan dalam sidang lanjutan sebagai saksi ahli harus tetap bersikap objektif, kritis, dan independen dalam mengungkap kebenaran yang terjadi, sehingga keadilan bagi korban dan keluarganya pun dapat terwujud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun