Buku Log Komandan Kapal Selam KRI Guawijaya / Letnan Kolonel Laut (P) Verdi Santosa / Lokasi: Perbatasan Laut China Selatan / Tertanggal: Â 3 November 2021
Saat itu kami sedang melakukan patroli dalam mode Silent Running. Semua peralatan non-esensial dimatikan, reaktor berfungsi minimum, kecepatan hampir mendekati nol, dan penginderaan hanya mengandalkan sonar pasif alias hidrophone semata. Pada awalnya semua berlangsung rutin sampai kami mendeteksi sinyal mencurigakan dari perbatasan.
Analisa audio memastikan sumber sinyal tersebut adalah sebuah kapal selam asing yang menyusup ke perairan teritorial. Suara baling-balingnya begitu halus, sehingga mungkin tak bakal terdeteksi jika kami tidak kebetulan sedang melakukan mode pengintaian. Meski tidak memiliki bukti karena keterbatasan alut-sista, peristiwa seperti ini diduga bukan yang pertama kali. Sudah bukan rahasia bahwa kapal selam negara super-power suka 'menerobos' perairan teritorial negara lain, meski tidak selalu dengan niat buruk. Hanya sekedar potong kompas atau melakukan pelatihan reconnaissance.
Kami tidak buru-buru bertindak. Strategi tetap diperlukan. Kapal selam sekelas KRI Guawijaya jelas bukan tandingan boomer bertenaga nuklir. Dan kehati-hatian ini ternyata keputusan yang tepat, karena terjadi perkembangan yang lebih mengejutkan. Hidrophone kembali mendeteksi kehadiran kapal selam kedua. Dan dari bearing maupun pola pergerakan yang selalu berada di wilayah dead-zone kapal selam pertama, kami menyadari kapal selam kedua ini sedang membuntutinya.
Tidak terlalu mengejutkan sebenarnya. Permainan hide and seek seperti ini sering terjadi sejak jaman perang dingin. Apalagi sekarang sedang terjadi peningkatan ketegangan di wilayah Pasifik antara China melawan Amerika dan sekutunya. Mesin-mesin perang mereka yang dikerahkan cepat atau lambat pasti akan bersinggungan. Mungkin tidak akan pernah meletus menjadi pertempuran terbuka. Tapi sekedar pertarungan psikologis alias perang urat-syaraf sangat mungkin terjadi. Dan sepertinya inilah yang sekarang kami saksikan - atau 'dengarkan', lebih tepatnya.
Lalu terjadilah hal yang benar-benar mengejutkan. Rentetan bunyi ping-ping-ping yang semakin rapat menandakan sebuah torpedo telah ditembakkan. Beberapa saat kemudian hidrophone memindai suara dentuman, dan kapal selam pertama tiba-tiba lenyap dari monitor sonar. Dipastikan sebuah direct-hit. Kami menyangka kapal selam kedua adalah pelakunya. Namun peristiwa selanjutnya mengubah sangkaan tersebut.
Kapal selam kedua terpantau menyalakan sonar aktif dan sekaligus menambah kecepatan. Perwira sonar kami bahkan bisa mendengar teriakan-teriakan terkejut dari awak di dalamnya. Dari perubahan modulasi sonar maupun gemuruh turbolensi yang mengiringi suara baling-baling, nampaknya kapal selam tersebut sedang melakukan manuver 'Crazy Ivan'. Seolah mereka pun takut akan diserang. Tentu sebuah keanehan jika mereka adalah pelaku serangan tadi. Keanehan ini semakin terbukti ketika bunyi sonar pengarah torpedo kembali terdengar entah dari mana, dan kapal selam kedua itu pun juga menghilang dari monitor. Sama-sama dihancurkan.
Kejadian tersebut mengarah pada kesimpulan yang mengerikan. Kedua kapal selam itu telah diserang oleh pihak ketiga yang tidak kami ketahui keberadaannya. Ada kapal selam lain di luar sana yang sama-sekali tidak terlacak oleh peralatan penginderaan pasif yang ada di Guawijaya.
Saya segera mengumumkan status battle-station dan memerintahkan kamar mesin untuk mematikan reaktor. Semua awak dilarang menimbulkan suara apapun. Berbicara pun hanya diizinkan jika ada kepentingan mendesak, dan harus dilakukan dengan berbisik. Semua untuk mengurangi kemungkinan terdeteksi oleh pihak ketiga yang tidak dikenal ini. Tidak ada yang bisa memastikan apa yang mereka lakukan jika mengetahui kehadiran kami. Meski demikian, kami sadar tidak bisa tinggal diam. Sekedar manuver hide and seek barangkali masih bisa ditanggapi dengan umpatan. Tapi jika sudah melakukan operasi seek and destroy itu sudah keterlaluan.
Sebagai komandan, saya memahami bahwa jika terjadi engagement akan ibarat David melawan Goliath. Pihak tidak dikenal ini jelas hunter-killer yang jauh lebih canggih. Di atas kertas, Guawijaya akan lebih mudah digilas dibanding dua korban sebelumnya. Tapi pada saat yang sama, kami punya kelebihan yang bisa dimanfaatkan. Pertama, kehadiran kami juga belum mereka ketahui. Kedua, kami punya mapping bawah laut yang lengkap sepanjang wilayah perbatasan ini. Baik terkait topografi, salinitas, dan terutama jalur thermocline yang ada. Dua hal ini saya harapkan jadi elemen kejut yang cukup strategis untuk menghadapi mereka.
Saya menjabarkan strategi tersebut pada Perwira Pelaksana, Kepala Departemen, dan juga Kepala Divisi. Agak merepotkan karena tetap harus dilakukan dengan berbisik-bisik. Semua terlihat tegang tapi bersemangat. Ini akan jadi pertempuran bawah laut pertama buat seluruh awak Guawijaya, dan bisa jadi yang terakhir kalau strategi ini gagal total. Sesuatu yang tentu akan dikenang sebagai kesalahan dan tanggung jawab saya. Namun para awak mendukung sepenuhnya. Saya bangga dan terharu dengan keberanian mereka. Motto Korps Hiu Kencana yang berbunyi 'Wiro Ananta Rudhiro' seolah bergema tanpa diucapkan.
Ketika semua langkah sudah ditentukan, tidak ada lagi keraguan. Saya sudah meminta helm dan navigasi untuk memprogram trajectori ke lapisan thermocline terdekat sebelum memerintahkan kamar mesin untuk menyalakan reaktor. Segera kapal selam bergerak maju dan semua awak menahan nafas mengantisipasi kemungkinan terburuk. Dan ternyata benar. Tidak berapa lama kemudian terdengar kembali bunyi sonar pencari dari torpedo yang melesat. Dan kali ini mengarah pada Guawijaya. Tapi saya tidak memerintahkan evasive manuver sebelum mencapai koordinat yang diinginkan. Sebuah kalkulasi resiko yang harus diambil untuk menghadapi mereka. Dan saya menyadari hal ini memiliki resiko yang bisa berakibat fatal.
Guawijaya menyelinap melewati lapisan perbatasan itu pada saat yang kritis. Tapi, alhamdulillah, rencana saya berhasil. Gelombang suara dari sonar torpedo terbiaskan oleh efek thermocline dan tak lagi bisa mendeteksi posisi kami. Peluru kendali bawah laut tersebut lewat begitu saja dan lenyap di kedalaman.
Namun hunter-killer tak dikenal itu tak berhenti sampai di situ. Setelah mendengarkan bunyi baling-baling kami dan berhasil mengetahui Guawijaya tak lebih dari kapal selam kelas ringan bertenaga diesel, mereka merasa tak perlu lagi berada dalam mode stealth. Sekarang mereka memburu kami terang-terangan. Hal ini kami ketahui bukan dari mendeteksi suara unit propulsi mereka - yang ajaibnya masih tak terdengar sama-sekali, melainkan dari suara sonar aktif yang mereka nyalakan untuk melacak posisi kami.
Terlindung oleh selimut alam yang mengganggu gelombang sonar musuh, saya menunggu sampai mereka memasuki jarak tembak sebelum memerintahkan untuk meluncurkan dua torpedo sekaligus. Sama-sekali tak ada niat untuk menggunakan kekuatan yang berlebihan. Tapi mengingat situasinya, saya hanya ingin memastikan bahaya ini bisa dinetralkan dengan segera.
Dari layar monitor sonar, saya bisa melihat dua blip bergerak beriringan menuju sasaran. Dan, bersamaan dengan terdengarnya ledakan bawah air yang menjalar sampai ke posisi Guawijaya, hunter-killer tak dikenal itu pun lenyap dari layar monitor. Sekali lagi David telah mengalahkan Goliath. Dan seperti tokoh ini, bukannya berteriak kegirangan, kami hanya membisikkan syukur pada Tuhan Yang Maha Kuasa atas pertolongan-Nya kali ini.
Sampai detik ini kami tidak mengetahui asal-usul kapal selam tidak dikenal tersebut. Saya sendiri punya dugaan tertentu, tetapi terlalu spekulatif untuk dijabarkan. Yang menarik adalah apa yang disampaikan perwira sonar usai kejadian. Meski tidak mendeteksi noise yang biasa terdengar dari baling-baling pendorongnya saat kapal selam itu memburu Guawijaya, tapi dia berhasil menangkap pola gelombang suara ganjil yang sangat halus.
Menurut dugaan anak buah saya itu, mereka mungkin menggunakan sejenis generator MHD - Magneto Hidro Dynamic - sebagai pengganti baling-baling, yang menyebabkan kapal selam tersebut sulit dilacak. Sejauh ini hanya satu negara yang pernah mengoperasikannya, walaupun hanya sebatas prototipe.
Tetapi, sekali lagi, hal ini terlalu spekulatif untuk dibahas.
.......
Catatan: Sonar (Sound Navigation And Ranging) adalah sarana penginderaan bawah air sebagai pengganti radar, karena gelombang elektromagnetik tidak bisa merambat di dalam air. Sebagai gantinya, piranti ini menggunakan gelombang suara.
Terdapat dua jenis, sonar aktif dan pasif. Sonar aktif mendeteksi obyek dengan cara memancarkan gelombang suara sendiri. Sonar pasif tidak memancarkan suara, melainkan menggunakan alat bernama hidrophone untuk mendengarkan berbagai bunyi yang ditimbulkan obyek di bawah laut.
Thermocline adalah lapisan transisi antara bagian bawah permukaan laut yang bersuhu hangat dengan laut dalam yang dingin. Karena sifatnya yang mampu membiaskan dan memantulkan gelombang sonar, banyak digunakan kapal selam untuk menghindari deteksi.
Dead Zone adalah istilah untuk menyebut area di sekeliling kapal selam yang menyulitkan penginderaan. Biasanya merujuk ke area buritan kapal karena otomatis hidrophone tidak bisa mendengar apapun selain bunyi baling-balingnya sendiri.
Crazy-Ivan maneuver adalah pergerakan kapal selam berputar seratus delapan puluh derajat untuk mendeteksi kemungkinan adanya musuh di belakang. Manuver ini diperkenalkan oleh armada kapal selam Rusia.
Boomer adalah sebutan untuk kapal selam pembawa hulu ledak nuklir. Hunter Killer adalah kapal selam yang dirancang untuk menyerang dan menghancurkan kapal permukaan maupun kapal selam.
Magneto Hidro Dynamic adalah sistem propulsi yang menggunakan medan magnet untuk menghisap dan menyemburkan air sebagai daya dorong menggantikan baling-baling.
Cerita pendek ini fiktif semata dan tidak dimaksudkan untuk merekonstruksi kejadian sebenarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H