"Pesawat itu hanya bisa membawa satu orang," kata ibunya. "Dengan tanki penuh ditambah backpack sarat amunisi dan perbekalan di kursi belakang, sudah tidak mungkin lagi menambah berat muatan. Tapi tak mengapa. Pesawat itu memang kubawa hanya untukmu, Anakku. Aku akan mati dengan tenang jika bisa melihatmu terbang jauh dari dari tanah terkutuk ini..."
"Jangan bilang seperti, Ma," sergah Kartini sambil menghampiri ibunya. "Jika Mama pikir aku mau terbang meninggalkan Mama di sini berarti Mama tidak mengenal putri Mama sendiri!" Â
Sarah lagi-lagi tersenyum, "Oh, aku cukup baik mengenal dirimu, Kartini. Itulah kenapa aku membawamu ke sini. Agar kau tidak punya pilihan lain selain meninggalkan aku." Â
Kartini mendesah jengkel, "Terlalu bersemangat menjadi martir seperti ini sama-sekali bukan jalan keluar, Ma!" Â
Sarah bangkit dan meraih tangan putrinya, "Tapi memang tidak ada jalan lain, Anakku. Kau tahu sendiri kita tidak bisa selamanya tinggal di bunker. Zombie-zombie itu semakin banyak saja tiap harinya. Cepat atau lambat mereka akan menemukan jalan masuk. Aku melatihmu dari kecil bukan untuk mati konyol di sini. Aku melakukannya agar kau bisa menemukan jalanmu sendiri - jauh dari sini."
"God dammit, Ma," seru Kartini penuh emosi. "Ingat cerita Mama dulu soal wanita bernama Dora? Yang Mama tolong dari para zombie tapi malah meninggalkan Mama di tengah kepungan mereka? Mama bilang dia jadi jahat begitu karena karena anaknya sendiri berniat membunuhnya untuk menghemat cadangan makanan. Tahu enggak, cerita Mama itu bikin aku tak bisa tidur berhari-hari. Aku tak bisa membayangkan ada anak setega itu pada ibunya sendiri. Sejak itu aku berjanji tak akan menjadi anak tanpa hati nurani seperti dia. Aku tak akan pernah mengorbankan Mama buat keselamatan diriku sendiri. Jadi Mama mengerti bukan? Kalau Mama memintaku meninggalkan Mama di sini, itu bukan saja melanggar janjiku, tapi juga sama saja menyuruhku mencampakkan nuraniku sendiri! Sama saja dengan menyuruhku menjadi anak durhaka itu - yang selama ini membuatku jijik! Mama pikir aku bisa tetap waras kalau itu terjadi...?!"
Kartini menangis, menumpahkan perasaannya. Sarah memeluknya erat-erat. Mata perempuan yang jauh lebih tua itu juga basah oleh air mata. "Tidak, Sayang. Kau sama-sekali bukan anak durhaka, dan tak akan pernah menjadi demikian. Kau ini anak yang baik - berbakti, penuh perhatian, cerdas, dan tangguh sekali. Aku sangat bangga padamu. Karena itulah aku harus memastikan kau bisa pergi jauh dari kota ini. Kau terlalu berharga untuk hidup sia-sia di tanah tanpa harapan seperti ini..."
"Tidak, Mama!" Kartini terus terisak-isak, memeluk ibunya tak kalah erat. "Aku tak akan pernah meninggalkanmu...aku tak akan pergi tanpa dirimu..."
Sarah dengan lembut namun tegas menegakkan kepala Kartini yang lunglai di bahunya, membuat mereka saling beradu pandang. "Sayang, tolong dengarkan. Aku sekarang sudah tua. Tinggal masalah waktu sebelum aku jadi renta, sakit-sakitan dan cuma beban tanpa guna buatmu. Aku hanya akan menghalangi jalanmu, mengganggu konsentrasimu, yang justru bisa berakibat fatal buatmu. Aku tak bisa membiarkan itu terjadi. Aku lebih suka mati sekarang, saat aku masih bisa berguna buatmu, daripada nanti ketika sudah pikun dan tak bisa melakukan apapun selain ngompol di tempat tidur. Aku tak ingin mati dalam keadaan seperti itu. Jadi kumohon, Sayang. Tinggalkan aku. Kabulkan keinginan terakhirku ini."
Kartini menatap sepasang mata yang basah dan mengiba itu. Dia menahan diri sejenak, lalu berkata, "Ma, ada yang ingin aku ceritakan. Dulu saat Mama berurusan dengan perempuan bernama Dora itu, aku malah sedang berhadapan dengan Zombie di gudang bawah tanah.Â
Buat menolong bonekaku yang terjatuh ke sana. Ya, aku tak bilang apa-apa, karena Mama waktu itu pulang dalam keadaan berdarah dan seperti habis menangis. Takutnya Mama malah tambah tidak karuan kalau kuceritakan. Tapi kejadian itu memberiku dua pelajaran berharga.Â