Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Penyintas"

26 September 2021   10:23 Diperbarui: 10 Oktober 2021   19:27 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dikutip dari Pixabay

Sarah sibuk berbelanja dan gerombolan zombie berkeliaran di luar sana.

Kata berbelanja mungkin kedengaran terlalu optimis. Apa yang dilakukan Sarah sebenarnya adalah menjarah isi sebuah supermarket yang masih utuh. Sesuatu yang langka setelah kejadian dua tahun lalu, di mana seluruh kota (atau seluruh dunia?) mengalami kehancuran dan korban-korbannya berubah menjadi makhluk-makhluk mengerikan itu.

Sarah tidak tahu kenapa dia dan putrinya tidak berubah. Dia juga tidak tahu adakah penyintas lain di luar sana. Pertanyaan itu tidak penting lagi. Sama dengan menanti pertolongan yang tidak pernah datang. Sekarang yang ada di kepalanya adalah bertahan hidup, dan menjaga putrinya. Sebisa mungkin. Selama mungkin.

Sarah terus berkonsentrasi pada daftar belanjaan di tangannya. Lalu mencari-cari di antara rak-rak yang ada. Zombie lebih sering berkeliaran di luar pada siang hari, sehingga dia tidak terlalu khawatir sekarang. Masih ada beberapa jam sebelum hari gelap. Lagipula tinggal satu-dua barang yang dia butuhkan. Ranselnya sudah mulai penuh.

Lalu Sarah mendengar sesuatu yang membuat tangannya bergerak secepat kilat. Menghunus senapan serbunya dalam posisi siap tembak. Matanya tajam mengamati setiap penjuru sampai berhenti pada pintu menuju ruang bawah. Dari sana suara mencurigakan itu berasal.

Dan pintu itu pun perlahan terbuka.

Sarah tercengang. Seorang perempuan, kelihatan beberapa tahun lebih tua darinya, keluar dari pintu tersebut. Dia mengenakan jaket serta celana yang dekil, dan sepertinya sudah lama sekali tidak mandi. Tapi jelas sekali dia adalah manusia, bukan zombie.

Sarah, yang telah menghabiskan dua tahun dengan keyakinan bahwa dia dan putrinya adalah satu-satunya yang selamat, tentu saja merasakan kegembiraan yang luar-biasa. "Aku sama-sekali tidak mengira akan bertemu sesama perempuan lagi," ujarnya. "Bagaimana kau bertahan selama ini?"

"Tuhan masih melindungiku," kata perempuan yang ternyata bernama Dora. "Di hari kehancuran itu, aku beruntung bisa berlindung di tempat ini bersama beberapa orang. Kami sembunyi di basemen, bertahan dengan makanan dan minuman yang ada di gudang penyimpanan...tapi kau sendiri tinggal di mana? Apakah ada lagi yang selamat di luar sana?"

Sarah menjawab pertanyaannya satu demi satu. Bahwa dia, bersama putrinya, menempati bunker di sebuah markas militer yang ditinggalkan. Bahwa dia bertahan hidup dengan mengumpulkan bahan kebutuhan secara berkala. Dan tidak, tidak ada lagi yang selamat di luar sana. "Tapi kau tadi bilang tinggal di sini bersama beberapa orang," cetus Sarah. "Di mana mereka sekarang? Apakah masih di bawah sana?"

Pertanyaan itu, di luar dugaan, membuat ekspresi Dora berubah sedih sedih. Dengan tersendat, dia bercerita, "Kami memang ada berlima kala itu, tinggal bersama untuk beberapa lama sampai sesuatu terjadi. Salah seorang di antara kami merasa persediaan makanan tidak akan cukup untuk kami semua. Lalu...lalu dia mengambil obat tertentu dari tempat penyimpanan..."

Sarah terbelalak. "Maksudmu, dia...."

Dora mengangguk. Matanya basah memerah. "Dia meracuni yang lain. Tapi Tuhan masih melindungiku. Aku tidak bernafsu makan saat itu. Jadi aku tidak menelan apapun saat dia melakukannya. Tapi saat dia mengetahui, dia jadi mata gelap. Dia..dia berusaha mencekikku. Dia bilang ini demi kebaikanku sendiri. Tapi aku melawan. Kupukul kepalanya dengan balok kayu..dan...dan ternyata dia mati..."

Dora meledak dalam tangis yang menyayat. Sarah cepat-cepat memeluknya. Berusaha menenangkannya. "Sudah, sudah, tak perlu lagi kau pikirkan soal itu. Semua sudah berlalu. Kau akan aman bersama kami. Kita akan selalu bersama..."

Mendadak dia berhenti bicara. Tubuhnya menegang. Dora rupanya merasakan itu. Dia menghentikan tangisnya dan menahan nafas. Secara naluriah dia menyadari datangnya bahaya. "Ambil posisi di belakangku dengan perlahan," bisik Sarah. "Dan bersiap untuk lari."

Bahaya itu memang sudah dekat. Di seberang ruangan, tepat di depan gang antara dua rak, nampak rombongan zombie berjalan sempoyongan. Kondisi mereka tinggal kerangka berbalut kulit kering. Pakaian mereka kenakan tersisa robekan compang-camping. Tapi rambut mereka justru memanjang awut-awutan sampai ke pinggang. Kuku mereka juga memanjang, melengkung, dan kotor. Mereka terus berjalan tanpa menoleh ke arah gang. Sepertinya belum menyadari kehadiran kedua perempuan itu.

Nafas Dora tersentak saat melihat mereka. Tubuhnya gemetar ketakutan. Karena itu, secara spontan dia berusaha mencari pegangan pada rak. Malang, tangannya justru menyenggol satu makanan kaleng yang langsung terjungkir dari rak dan jatuh ke lantai.

KLONTANG!

Seketika para zombie menoleh. Sekarang mereka melihat kedua perempuan itu. Dan tindak-tanduk mereka pun berubah. Gerakan yang sempoyongan itu berubah gesit. Sambil mengeluarkan suara seperti hewan buas, mereka berlari menyerang dengan kuku-kuku panjang teracung.

"Lari ke jendela belakang," seru Sarah sambil menembakkan AK-47 di tangannya. Dora tak perlu disuruh dua kali. Tapi dia masih sempat melihat betapa terampil Sarah menggunakan senapan serbunya. Hanya membidik kepala para penyerang dan selalu tepat mengenai sasaran.

Jendela belakang itu terbuka ke arah parkiran karyawan. Dua lantai di bawah sana. Tak terlihat siapapun di parkiran itu. Manusia atau pun zombie. Hanya beberapa kendaraan terparkir. Di antaranya sebuah jeep tentara yang dikendarai Sarah dan satu truk sampah yang parkir tepat di bawah jendela. Tumpukan sampah masih menggunung di atasnya.

"Lompat ke tumpukan sampah itu," teriak Sarah yang berlari menyusul. "Aku akan mengulur waktu."

Dora pun melompat dan mendarat dengan selamat di tumpukan sampah. Didengarnya suara botol-botol dipecahkan dalam supermarket, membuatnya bertanya-tanya bagaimana Sarah akan mengulur waktu. Lalu didengarnya pula raungan zombie yang menyerang. Saat dia berpikir Sarah sudah gagal, tiba-tiba dilihatnya perempuan itu menyusul melompat keluar jendela.

Dan suara ledakan dahsyat terdengar dari dalam supermarket, disusul bola api bergulung keluar dari jendela yang sama.

"Ayo cepat," Saras membantu Dora turun dari truk sampah dan bergegas menuju ke jeep di sebelahnya. "Aku baru menyalakan semua minuman beralkohol dan bahan kimia di supermarket itu. Kita punya cukup waktu sebelum mereka menyadari kita ada di belakang sini. Dengan sedikit keberuntungan kita sudah jauh dari sini sebelum....ARGH!"

Sarah roboh sambil memegangi kepalanya. Dora diam-diam telah mengambil sebuah botol kaca dari tumpukan sampah dan menggunakannya untuk memukul kepala Sarah. Begitu Sarah terkapar dengan kepala berdarah, Dora segera merampas senapan maupun tas ranselnya. Ketika Sarah berusaha bangkit, Dora menodongkan senapannya.

"Maafkan aku," kata Dora bersungguh-sungguh. "Ada satu hal yang tidak kuceritakan tadi. Beberapa orang yang kubilang bersamaku tinggal di basemen, mereka bukanlah orang asing. Mereka keluargaku. Anakku, suamiku, dan adik-adikku. Dan keparat yang mau meracuni kami semua adalah anakku sendiri. Kau percaya itu? Anakku sendiri mau membunuhku!"

Meski ditodong, Sarah berusaha bangkit. Tapi sayang, kepalanya masih terasa pusing dan sakitnya bukan main. Dia kembali roboh sambil mengerang. Lebih karena marah daripada kesakitan. Dora melemparkan ranselnya ke dalam jeep.

"Kau tahu," perempuan itu terus berbicara. "Dulu aku selalu heran kalau menonton berita tentang orang tua yang dibunuh anaknya sendiri. Entah gara-gara warisan atau hal sepele lainnya. Bagiku, hal seperti itu kedengarannya tidak masuk akal. Ironis sekali, bukan? Siapa sangka ternyata aku malah mengalaminya sendiri..."

Dora tertawa pahit. Kegilaan bercampur kesedihan membayang di pelupuk matanya. "Tapi selalu ada hikmah di balik semua tragedi. Begitu yang dikatakan orang-orang bijak di televisi itu, bukan? Nah, tragedi yang kualami membuatku sadar bahwa aku tidak boleh mempercayai siapapun. Di jaman kehancuran ini, tidak hanya zombie yang ingin membunuh kita. Kita pun harus saling membunuh, kalau mau bertahan hidup. Kalau anakku sendiri tidak bisa kupercayai, bagaimana aku harus mempercayai orang asing sepertimu?"

Dora melompat ke jeep dan menyalakan mesinnya. Seolah sebagai perpisahan, dia berkata, "Jangan dimakan hati, relakan dirimu menjadi mangsa. Itu berarti kau telah berkorban buat sesama. Buat aku. Yang Di Atas tentu akan memberi tempat yang layak buat jiwamu, setelah makhluk-makhluk itu memakan tubuhmu. Yah, pasti sakit sekali rasanya. Tapi patut diperjuangkan, bukan? Oiya, tak usah repot-repot memperbaiki truk itu. Mesinnya tak bisa diperbaiki. Anakku sudah mencobanya tanpa hasil."

Usai dengan semua ocehan yang pahit, ironis, dan sinis itu, Dora menginjak pedal gas dan melesat keluar parkiran. Para zombie yang mulai berkerumun di depan supermarket belum menyadari drama yang baru terjadi di pelataran belakang. Mereka baru mengetahuinya ketika jeep itu melesat ke arah gerbang dan mencoba menghentikannya. Tapi tentu saja, tulang-belulang tidak banyak berguna melawan bemper logam.

"Jangan cemaskan putrimu, Sarah," Dora berbicara sendiri ketika jeep yang dikendarainya melesat di jalan raya. "Aku tahu di mana pangkalan militer itu. Putrimu akan kuasuh seperti anakku sendiri. Jangan khawatir, aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Putrimu akan kudidik sedemikian rupa sehingga tidak akan pernah berani macam-macam padaku. Ya, sedikit hidung berdarah dan gigi patah pasti akan baik untuk memperbaiki watak anakmu itu. Anak memang harus dipukuli sejak kecil supaya..."

Kata-katanya terpotong oleh suara gemuruh dari tembok di sebelah kiri jalan. Sebuah truk menjebol tembok tersebut dan langsung mengarah ke jeep yang dikendarai Dora. Perempuan itu tidak mempercayai penglihatannya. Truk tersebut adalah truk sampah yang baru saja ditinggalkannya beberapa saat lalu. Sebelum sempat menghindar, truk itu sudah menabrak jeep sampai terjungkir. Dora terpental ke udara dan mendengar suara berderak di kakinya saat mendarat di aspal jalan.

Truk tersebut mengerem dengan mendadak. Sarah melompat turun dari ruang kemudinya. Tapi dia bukan lagi perempuan yang sama seperti sebelumnya. Tak terlihat lagi simpati dan kehangatan saat dia menghampiri truk yang terguling di depannya. Wajahnya mengeras, dan itu diperparah oleh darah dari luka di kepalanya.

"Truk itu bukan tidak bisa diperbaiki," kata Sarah tanpa menoleh ke arah Dora yang masih terkapar di jalan. "Hanya membutuhkan mekanik yang lebih baik dari amatiran seperti anakmu."

Dia mengambil ransel dan senapan dari jeep, lalu berjalan kembali ke truk. Sama-sekali mengacuhkan Dora yang tengah merangkak-rangkak. Kakinya ternyata patah sehingga tidak bisa lagi berdiri.

"Jadi aku benar, bukan?" teriakan Dora terdengar serak dan histeris. "Ini adalah jaman hukum rimba. Semua orang memikirkan dirinya sendiri. Persetan dengan kemanusiaan dan ilusi-ilusi sejenisnya. Mungkin anakku tidak sepenuhnya salah. Mungkin dia memang lebih pandai menyesuaikan diri. Dia mencoba membunuhku karena memang situasinya menghendaki demikian. Dan aku melakukannya padamu karena alasan yang sama. Dan sekarang kau pun melakukannya kepadaku..."

Sarah menghentikan langkahnya. Dia menatap Dora dengan pandangan berapi-api, "Aku melakukan ini karena ulahmu sendiri. Kau sudah membuktikan dirimu tak berbeda dengan para zombie. Aku tak mungkin membiarkan dirimu satu atap dengan putriku. Kalau kau cukup gila untuk mengkhianatiku, aku tak bisa membayangkan apa yang akan kau lakukan padanya."

"Itu cuma alasanmu," bentak Dora dengan mata melotot. "Apapun yang kau katakan, tetap saja kau tak ada bedanya dengan aku jika tetap meninggalkan diriku di sini untuk dikunyah para zombie itu."

Sarah merenung sejenak sebelum akhirnya menarik nafas panjang. "Mungkin kau benar. Aku tak bisa meninggalkanmu begitu saja untuk diserang mereka hidup-hidup..."

"Kalau begitu tolonglah aku," suara Dora berubah jadi memelas. "Aku mohon!"

Tapi Sarah tidak menghampiri Dora. Dia malah merogoh ke dalam laci ranselnya, lalu mengeluarkan sebuah benda logam berbentuk bulat. Sekilas menyerupai buah nanas kecil berwarna hitam metalik, dengan semacam pemicu di bagian atasnya. Benda itu diletakkan di aspal jalan beberapa meter dari posisi Dora. "Aku yakin kau tahu cara paling baik untuk menggunakan benda ini supaya tidak disakiti mereka."

Selesai mengucapkan kata-kata perpisahan itu, Sarah kembali ke atas truk dan melesat meninggalkan lokasi. Dia tidak mau melihat dari kaca spion, bagaimana para zombie mulai berdatangan menghampiri Dora. Dia juga tidak mau melihat bagaimana Dora merangkak dengan tergesa-gesa untuk menjangkau benda yang dia tinggalkan.

Hanya saja, ketika truknya sudah jauh dan akhirnya terdengar suara ledakan yang sayup, air mata menetes di pipi Sarah. Kata-kata Dora kembali terngiang di kepalanya. Dan Sarah pun bertanya-tanya, apakah yang dikatakan perempuan itu benar belaka.

Apakah dirinya tak lebih baik dari perempuan gila itu?

......

Catatan: Kisah ini adalah sekuel dari cerpen "Mama".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun