Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Amuk Hayam Wuruk

8 Agustus 2021   11:11 Diperbarui: 25 Agustus 2021   10:31 1390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasukan panah itu saling berpandangan. Untuk sesaat mereka seperti diliputi kebingungan. Sampai akhirnya salah-satu dari mereka meletakkan busur, berlutut memberi hormat, dan berseru, "Hidup Maharaja Hayam Wuruk!"

Dan, satu demi satu, pemanah lain melakukan hal yang sama. Meletakkan senjata dan berlutut di hadapan Hayam Wuruk. Seruan pertanda kesetiaan pun menggema di antara mereka. Sesuatu yang membuat Senopati Angkrang hanya bisa ternganga.

"Bukankah Paman sendiri mengatakan ayahanda itu sama liciknya dengan Ken Arok," ujar Hayam Wuruk sambil menyeringai. "Jika demikian, seharusnya Paman harus berhati-hati saat berhadapan dengan keturunannya. Bukankah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya?"

Senopati Angkrang hanya bisa menatap Hayam Wuruk dengan jengkel. Dia tahu sudah kalah telak. Lebih celaka lagi, sebentar lagi dia akan mati. Kendati demikian, sambil berusaha tersenyum tabah, dia berkata, "Paling tidak, aku sudah membuatmu kehilangan pohon dari mana kau jatuh..."

Mendengar itu, Hayam Wuruk malah menyeringai makin lebar. Dia pun menoleh ke arah Gajah Mada yang berbaring tak bergerak, lalu berkata, "Kurasa Ayahanda sudah bisa bangun sekarang."

Ajaib, Gajah Mada yang sebelumnya berbaring diam tahu-tahu bangkit kembali. Dia mencengkeram bagian tubuhnya yang terluka ditusuk Hayam Wuruk. Luka tersebut nyata dan tidak dibuat-buat. Tapi anehnya tidak ada darah mengucur. Dan Gajah Mada tidak nampak kesakitan. Tentu saja Senopati Angkrang tercengang. Matanya hampir-hampir copot melihat 'keajaiban' itu.

"Tak usah kaget, Paman," ujar Hayam Wuruk. "Aku sudah bilang bahwa Ayahanda pernah mengajari tentang bagian tubuh yang tepat untuk ditusuk. Tepat itu bermakna ganda. Tepat karena menimbulkan kematian, dan tepat karena tidak mematikan. Aku menusuk ayahanda di bagian terakhir. Dipadukan dengan totokan untuk menghentikan peredaran darah, maka luka yang ditimbulkan takkan berakibat fatal."

Gajah Mada menatap putranya dengan perasaan bangga - sekaligus bersalah. "Anakku, kau telah mengatasi masalah ini dengan cara cerdas. Maafkan ayahmu yang meremehkan dirimu selama ini. Peristiwa Bubat tak perlu terjadi kalau aku mempercayai kedewasaanmu dalam mengambil keputusan..."

Hayam Wuruk menarik nafas dalam-dalam. "Hamba bisa memaafkan semua tindakan Ayahanda selama ini, kecuali dalam peristiwa Bubat. Betapapun, hamba kehilangan gadis yang sangat hamba cintai dalam peristiwa itu. Dan itu tanggung-jawab Ayahanda. Karenanya, hukuman terberat harus tetap kuberikan pada Ayahanda."

Gajah Mada mengangguk tanpa ragu. "Aku bisa mengerti, Anakku. Tragedi Bubat itu menunjukkan aku sudah tak pantas lagi menjadi Mahapatih. Aku sudah melanggar perintah Maharaja, dan tak ada hukuman yang lebih pantas selain hukuman mati." 

Tapi Hayam Wuruk menggelengkan kepala. "Tidak, Ayahanda. Sebagai sosok yang berani menentang maut, hukuman mati tentulah terlalu ringan buat Ayahanda. Hamba harus memberikan hukuman yang lebih mengerikan daripada kematian. Hanya dengan cara itu, hamba baru bisa memaafkan Ayahanda."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun