Sejak saat itu hubungan keduanya terus memburuk. Akibatnya rating acara bapak-bapak berdebat kusir dan sinetron ibu-ibu menangis bombay turun drastis di wilayah RT setempat. Soalnya pertengkaran keduanya lebih seru dari dua acara televisi favorit itu. Tanpa gimmick lagi.
Lucunya, walau tiap hari bertengkar, tak ada pikiran mereka untuk cerai. Bagaimanapun, status lebih penting dari ketenangan syaraf. Mending tidak bahagia daripada kehilangan pasangan. Satu prinsip mengharukan yang sepertinya banyak dianut orang.
Tapi kejadian malam ini sudah melampaui batas emosi Mansyur. Dia memutuskan cabut. Itu sudah pilihan terbaik, mengingat pilihan lainnya cuma mencekik istrinya. Agak mengejutkan bahwa ia masih cukup waras untuk tidak melakukannya.
Maka setelah membanting pintu depan sampai mengagetkan kucing kawin di atas atap, Mansyur pun keluar dengan masih mengenakan seragam satpam. Sempat terpikir olehnya untuk naik motor, tapi kemudian diurungkan. Motor butut itu sering rewel saat distarter. Dalam kondisi normal saja bikin emosi. Apalagi dalam situasi sekarang.
Lagipula motor itu bukan seratus persen miliknya, tapi pinjaman dari mertuanya.
Mansyur pun berjalan kaki menyusur jalan kampungnya yang gelap. Amarahnya masih memuncak di ubun-ubun. Karena itu dia tidak peduli ke mana dia melangkah. Asal terobos saja. Dari mulutnya tak habis-habis keluar sumpah-serapah.
"Ada masalah, Bang?"
Ada orang yang tahu-tahu bertanya. Entah siapa tidak jelas. Mansyur tidak memperhatikan. Atau lebih tepatnya tidak peduli. Konsentrasinya masih ke koleksi caci-maki yang ada di kepalanya.
Namun tak urung dia menjawab, "Biasa...."
"Aha, berantem sama istri ya?"
"Iyalah..."