Tenaang. Yang saya maksud di sini bukan film Wonder Woman 1984. Kalau yang itu pasti sudah banyak yang me-review-nya di Kompasiana. Tentunya tidak bijaksana kalau saya mengulang-ulang lagi.
Yang saya maksud di sini adalah filmnya yang pertama.
Masih ingat bukan, bagaimana Diana harus berduel melawan ibunya agar bisa membawa Steve Trevor dari Themyscira? Bagaimana putri Amazon itu harus rela kehilangan kekuatan dan jadi korban human-trafficking? Dan bagaimana dahsyatnya dog-fight antara Diana yang mengendarai jet gaib melawan monster raksasa Khimaera?
Apa? Mana ada adegan seperti itu di film pertamanya? Oh, maaf. Saya belum bilang ya kalau film ini cuma diputar di pararel universe. Pembaca harus meminjam kelima Infinity Stones-nya Thanos dulu untuk bisa menonton film ini.
Hehehe. Becanda. Adegan yang saya sebutkan di atas memang tidak ada dalam film debut Wonder Woman di tahun 2017 dulu. Itu semua adanya cuma di film yang tidak jadi diproduksi, dan skenarionya beredar luas di internet.
Penulis dan sutradaranya adalah Joss Whedon. Orang yang berada di balik kesuksesan film Avengers dan Avengers: The Age of Ultron.
Kenapa film itu tidak jadi dibuat? Biasa. Perbedaan prinsip.
Dalam sebuah wawancara, Joss mengatakan, "Pertama, saya harus mengatakan bahwa semua orang di studio bekerja profesional. Kita hanya tidak sepaham soal film ini mau dibawa ke mana. Dengan situasi semacam ini, jelas tidak mungkin produksinya akan berjalan baik."
Tapi apakah naskahnya memang sejelek itu? Menurut saya masalahnya adalah timing. Jangan lupa, film itu rencananya dibuat pada tahun 2006. Pada saat itu, Marvel Cinematic Universe masih bertapa dan belum turun gunung mengguncang Holywood.
Waktu itu semua studio masih berpikir, film superhero yang bagus harus gelap, berat, dan murung seperti Batman. Sementara naskah yang ditulis Joss tidak bernuansa demikian.
Ceritanya sendiri memang beda jauh dengan Wonder Woman besutan Patty Jenkins. Berhubung film ini tidak jadi dibuat, tidak ada salahnya kan kalau saya berikan spoiler sebanyak-banyaknya?
Setting-nya terjadi di masa sekarang. Steve Trevor adalah seorang pilot relawan yang menerbangkan bantuan logistik untuk pengungsi di Afrika. Suatu ketika pesawatnya diterjang badai dan harus mendarat darurat di Themyscira.
Sesuai hukum, lelaki yang menginjakkan kaki di pulau itu harus dihukum mati. Tapi Diana yang menemukan Steve keberatan. Dia menantang bertarung Ratu Hippolyta, ibunya sendiri, agar bisa membawa Steve kembali ke peradaban. Meski gagal mengalahkan ibunya, Hippolyta akhirnya mengizinkan Diana pergi.
Setelah sempat mampir ke Afrika dan memporak-porandakan sarang milisi bersenjata, Diana dan Steve akhirnya menetap di Gateaway City. Diana diperkenalkan teman-teman Steve - Ben, Sully, dan Griffin (yang bertindak sebagai pengocok perut dalam film ini) - sekaligus berinteraksi dengan kehidupan modern. Banyak dialog dan adegan yang menggelitik di bagian ini. Termasuk adegan Diana menari seksi di kelab malam.
Masalahnya, ternyata kota itu dikuasai industriawati bernama Arabella Callas. Dia bekerja sama dengan seorang Demigod bernama Strife untuk menebar malapetaka di kota tersebut. Mau tak mau akhirnya Diana dan Steve harus berurusan dengan kedua penjahat ini.
Tentu saja, namanya pasangan serasi, pasti ada pertengkaran di antara Diana dan Steve. Tapi akhirnya cinta itu terbukti. Diana rela dibelenggu dan membuang kesaktiannya untuk menebus nyawa Steve yang disandera Strife.
Diana pun dibuang Strife di Amerika Selatan. Di sini, sang putri Amazon harus berjuang dengan tangan dibelenggu dan tanpa kekuatan super. Membebaskan perempuan suku pedalaman dari gerombolan pelaku human-trafficking.
Dari pengalaman inilah, Diana belajar menjadi pahlawan sejati. Dia berhasil mematahkan belenggunya dan mendapatkan kesaktiannya kembali. Dan tidak cuma itu. Ratu Hippolyta memberi senjata pusaka. Tentu saja bukan keris atau badik. Tapi jet tempur yang kasat mata!
Bersama Steve and his gang, dan juga dewa arak Bacchus yang baik hati, plus preman insyaf bernama Kleen, Diana berjuang melawan Clara dan Strife. Ternyata kedua penjahat itu juga punya senjata pamungkas. Berupa monster bionik berukuran raksasa yang bisa terbang!
Adegan inilah yang akhirnya dipakai Joss di klimaks film Avengers. Ingat kan ketika Kapten Amrik dan kawan-kawan harus bertarung menyelamatkan New York melawan serangan udara dari makhluk raksasa semacam ini? Bedanya, Diana menghadapinya sendiri. Cuma dibantu jet tempurnya. Hebat kan?
Begitulah kira-kira kisahnya. Terus terang saya tak berani mengatakan versi ini jauh lebih bagus dari versi tahun 2017 kemarin. Apalagi film yang dibidani Patty Jenkins itu review-nya selangit dan dapat 93% dari Rotten-Tomatoes. Jarang-jarang lho itu.
Kalau baca komentar fans, versi Joss ini malah banyak yang mencela. Ada yang bilang terlalu seksis. Peran Steve dinilai lebih menonjol dari Diana.
Namun jangan lupa, kebanyakan yang mencela itu adalah fans DC Comics. Mereka sudah menganggap Joss Whedon sebagai musuh bersama. Kenapa? Percayalah, terlalu panjang kalau saya ceritakan di sini.
Kalau menurut saya, versi Joss Whedon ini memang tidak lebih bagus dari film Wonder Woman tahun 2017 dulu. Tapi bisa jadi bakalan lebih laku. Harap diketahui, meskipun dipuji kritisi dan termasuk film DC Comics dengan pendapatan terbesar, tapi pendapatan Wonder Woman belum apa-apa dibanding pendapatan film superhero keluaran Marvel Studios.
Film Wonder Woman pertama meraup sekitar 700 juta dollar. Sementara pendapatan tiap judul Avengers selalu di atas satu milyar dollar!
Dan tidak cuma Avengers. Banyak proyek Marvel Cinematic Universe yang meraih angka keramat itu. Film DC Comics yang berhasil meraih angka yang sama cuma The Dark Knight dan Aquaman.
Kenapa Wonder Woman versi Joss itu saya bilang bisa lebih laku? Karena nuansanya sangat-amat-Marvel-sekali. Beda dengan dulu, sekarang ini kalau mau membuat film superhero memang harus memakai resepnya Marvel. Kalau mau laku lho.
Sutradara James Wan pun menggunakan resep yang sama ketika membuat Aquaman. Dan hasilnya? Satu Milyar, Bung!
Memang apa sih resep film superhero Marvel sampai bisa sukses gila-gilaan itu? Mmmm...nanti saya bahas tersendiri saja ya. Kayaknya artikel ini sudah terlalu panjaaaang!
Eh, tapi sebagai post-credit scene, saya sisipkan dialog pertengkaran Steve dan Diana di naskah karya Joss Whedon ini....
Steve: Menurutku kau sendiri yang menyebabkan situasinya memburuk. Kau petentang-petenteng, sok jadi pahlawan, akhirnya bajingan-bajingan itu bertindak lebih kejam dari sebelumnya. Ada pepatah, saat gajah bertarung, tikus mati di tengah-tengah. Kami ini tikusnya, Diana!
Diana: Lalu menurut kamu apa yang harus kulakukan? Muter-muter buat bedah rumah dan bagi-bagi sedekah buat fakir miskin?
Steve: Mmmmm...itu berpahala juga lho.
Diana: Jadi begitu rupanya. Aku tahu sekarang. Kenapa kamu selalu nyinyir sama aku. Karena aku lebih kuat daripada kamu. Aku membuat kamu merasa kecil hati.
Steve: Yah, semua orang bakal kecil hati dihadapan dewi sepertimu. Dari kahyangan di atas sana, mungkin kami cuma terlihat seperti semut.
Diana: Kamu tadi bilang tikus!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H