Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mantan di Tengah Malam

7 Januari 2021   21:09 Diperbarui: 9 Maret 2021   19:24 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kilat menyambar tanpa henti di malam yang gelap dan dingin itu. Titik-titik air hujan mulai jatuh. Itulah yang terjadi saat aku sampai di kota kelahiranku. Setumpuk kenangan menggumuli batin. Memaksaku berdoa agar masih disisakan kesempatan.

Aku telah meninggalkan dia setahun lalu, wanita yang teramat sangat mencintaiku. Kutinggalkan demi menikahi wanita lain, yang kuanggap lebih baik darinya. Aku salah besar, tentu saja. Yang terakhir ini mencampakkanku. Dan aku tidak menyesalinya.

Sekarang aku kembali demi dia yang telah kukhianati dengan kejam. Dan aku sangat takut dia bakal menolak mentah-mentah. Bagaimana aku bisa berharap dia memberi maaf, sementara aku sendiri tak mampu memaafkan diriku sendiri.

Ya, hatiku penuh ragu dan kecemasan. Tapi aku tetap berjalan. Menuju alamat terakhirnya. Bukan karena aku gagah berani. Aku hanya tidak tahu harus berbuat apa lagi. Jadi aku tetap melangkah. Terus, dan terus, dan.....

Aku terkejut.

Ketika itu aku sampai di satu-satunya taman di kota kelahiranku. Kami sering bertemu di sana. Taman itu memang favorit kami berdua untuk tempat kencan. Seharusnya tak ada orang datang di malam dan cuaca seperti ini. Tapi kulihat ada sesosok bayangan berdiri dekat pohon terbesar di taman itu.

Dan bayangan itu ternyata adalah wanita yang kucari.

Harusnya aku merasa ganjil melihat kesendiriannya di tempat itu. Apalagi di waktu seperti sekarang. Tapi batinku sesak oleh harap untuk selekas mungkin menjumpai dirinya. Dan ketakutanku terbesar adalah tidak bisa menjumpainya. Itulah kenapa aku hanya merasakan kegembiraan saat melihat dia di sana.

'Rianti,' aku berseru sambil menghampirinya.

Dia menoleh memandangku. Penerangan di taman ini agak redup, tapi cukup untuk menjelaskan penampilannya saat itu. Dia tetap cantik seperti terakhir kali melihatnya. Tetapi ada sesuatu yang membuatnya terkesan janggal.

Dia mengenakan gaun putih yang panjang dan rambutnya juga dibiarkan panjang terurai ke depan. Aku belum pernah melihat dia dengan penampilan seperti itu sebelumnya.

'Andra?' dia bertanya dengan sorot kekagetan yang sendu di matanya. 'Benarkah itu kau?'

Ada nuansa suka cita di nada pertanyaannya. Itu membuatku tak ragu untuk memegang tangannya. Tangan itu terasa dingin. Tapi tidak kuperhatikan.

'Ya, ini aku,' jawabku bersemangat. 'Sungguh bahagia bisa menjumpaimu lagi, Rianti. Percaya atau tidak, aku kembali untuk bertemu dirimu. Aku mencarimu.'

'Mencariku?' dia menatap wajahku seolah ada teka-teki di sana. 'Tapi kenapa?'

Saat itulah kusadari wajahnya yang sangat pucat.

'Aku ingin kembali bersamamu, Rianti,' jawabku cepat-cepat sebelum kehilangan keberanian. 'Aku ingin kembali jadi kekasihmu.'

Petir menyambar terdengar lebih keras dari sebelumnya, mengisi keheningan yang terjadi sesudah pernyataanku barusan. Rianti nampak lebih terguncang lagi. Matanya terbuka lebar sebagaimana bibirnya.

Dia berusaha menarik tangannya dari peganganku. Tapi aku bertahan. Tak mau kulepaskan.

'Aku tidak bisa, Andra,' akhirnya Rianti berkata. 'Sungguh, aku juga bahagia melihatmu lagi. Tapi maaf, aku tak mungkin bersamamu kembali...'

'Kenapa, Rianti?' aku mendesak. 'Apa sudah ada yang lain? Apakah kau sudah menikah?'

'Tidak,' sahutnya cepat. 'Kau satu-satunya lelaki yang kucintai, Andra. Adalah tidak mungkin bagiku untuk menikah dengan pria lain...'

'Lalu kenapa, Rianti?' aku terus bersikeras. 'Dengar, aku tahu aku telah mengkhianati cinta kita. Aku tidak menyalahkanmu kalau kau sakit hati padaku. Tapi aku telah mendapat pelajaran pahit. Dan, yang terpenting, aku telah kembali sekarang. Tidakkah kau lihat, Rianti? Aku datang ke sini hanya untukmu. Kumohon, aku tahu kau masih mencintaiku.'

Rianti membiarkan aku menyelesaikan ocehanku. Tak memotong sama-sekali. Namun, bukannya terpengaruh, raut wajahnya malah nampak dingin. Matanya menatapku dengan sorot yang berubah tajam.

'Kau benar, Andra. Aku masih mencintaimu,' mendadak suaranya berubah tenang. 'Tapi percuma saja semua itu. Kau seharusnya sudah melihat sendiri alasannya jika tidak dibutakan oleh kegalauanmu sendiri.'

Aku terpekur. Bingung. Melihat sendiri? Apa maksudnya? Apanya yang dibutakan?

Sekali lagi kuperhatikan Rianti lebih teliti. Seperti yang kubilang, dia tetap cantik, walau sedikit awut-awutan. Ya, berat badannya memang merosot. Tubuhnya menipis. Jari-jarinya hampir seperti cakar karena kurusnya. Dan kakinya..

Kakinya !

Mataku terbelalak ketika perasaan terguncang melalap kesadaranku. Sekarang aku tahu maksud perkataannya. Lebih dari itu, aku tahu kenapa dia bilang tidak bisa lagi bersamaku. Dan kenapa dia bisa berada di sini malam-malam.

Rianti tidak punya kaki di bawah gaunnya. Dia mengawang seperti...seperti....

'Ya, Andra,' ujarnya dengan nada yang sedikit menakutkan. 'Kita tak bisa bersama karena aku bukan bagian dari dunia ini lagi. Aku bunuh diri hanya sehari setelah kau pergi. Sekarang arwahku menetap di sini, tempat favorit kita. Jadi kau masih ingin kembali padaku, Andra?'

Lalu dia mulai tertawa cekikikan. Layaknya kebiasaan umum kuntilanak dan arwah penasaran lainnya. Lebih gawat, mukanya mulai berubah. Menjadi tengkorak dengan mata dan hidung yang bolong. Rahangnya yang penuh gigi telanjang menganga lebar.

Aku berdiri seperti patung. Tidak bergerak ketika kuntilanak yang dulunya Rianti itu memelukku. Wajah tengkoraknya persis di depan hidungku. Dia terus mengikik menakutkan.

'Hihihihihihi....kenapa diam, Andra?' godanya. 'Bukankah kau sayang padaku..hihihihihihihihi...buktikan, cium aku sekarang....hihihihihihihi..!'

Tanpa ragu aku menciumnya. Mencium gigi-gigi tengkorak itu dengan bibirku. Penuh cinta dan keintiman.

Terang saja kuntilanak itu kaget dengan tindakanku. Dia sampai mundur dan kembali menampakkan wajah Rianti. 'Apa-apaan kau ini, Andra?' dia bertanya dengan nada tercengang. 'Harusnya kau kabur ketakutan seperti yang lainnya.'

'Jika begitu perkiraanmu, Rianti,' jawabku, 'berarti bukan hanya aku yang dibutakan oleh kegalauan.'

Seraya berkata demikian, kutepis rambutku yang tergerai menutupi dahi, memperlihatkan lubang menganga bekas terjangan peluru yang ditembak dari jarak dekat.

'Istriku membunuhku sebelum kabur dengan pria lain,' ujarku menjelaskan. 'Aku juga sudah mati, Rianti. Sama seperti dirimu. Bukankah ini artinya kita memang ditakdirkan untuk bersatu?'

Untuk pertama kalinya wajah Rianti berubah cerah. Sangat cerah. Berseri-seri malah. Itu adalah wajah Rianti yang kukenal dulu. Selalu ceria dan berseri seperti musim semi.

'Oh, Andra,' bisiknya dengan perasaan bahagia. 'Aku tidak tahu harus berkata apa....'

'Kau tak perlu berkata apapun, Sayang,' sahutku mesra, sebelum mencium bibirnya. Lama sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun