Aku berdiri seperti patung. Tidak bergerak ketika kuntilanak yang dulunya Rianti itu memelukku. Wajah tengkoraknya persis di depan hidungku. Dia terus mengikik menakutkan.
'Hihihihihihi....kenapa diam, Andra?' godanya. 'Bukankah kau sayang padaku..hihihihihihihihi...buktikan, cium aku sekarang....hihihihihihihi..!'
Tanpa ragu aku menciumnya. Mencium gigi-gigi tengkorak itu dengan bibirku. Penuh cinta dan keintiman.
Terang saja kuntilanak itu kaget dengan tindakanku. Dia sampai mundur dan kembali menampakkan wajah Rianti. 'Apa-apaan kau ini, Andra?' dia bertanya dengan nada tercengang. 'Harusnya kau kabur ketakutan seperti yang lainnya.'
'Jika begitu perkiraanmu, Rianti,' jawabku, 'berarti bukan hanya aku yang dibutakan oleh kegalauan.'
Seraya berkata demikian, kutepis rambutku yang tergerai menutupi dahi, memperlihatkan lubang menganga bekas terjangan peluru yang ditembak dari jarak dekat.
'Istriku membunuhku sebelum kabur dengan pria lain,' ujarku menjelaskan. 'Aku juga sudah mati, Rianti. Sama seperti dirimu. Bukankah ini artinya kita memang ditakdirkan untuk bersatu?'
Untuk pertama kalinya wajah Rianti berubah cerah. Sangat cerah. Berseri-seri malah. Itu adalah wajah Rianti yang kukenal dulu. Selalu ceria dan berseri seperti musim semi.
'Oh, Andra,' bisiknya dengan perasaan bahagia. 'Aku tidak tahu harus berkata apa....'
'Kau tak perlu berkata apapun, Sayang,' sahutku mesra, sebelum mencium bibirnya. Lama sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H