Kilat menyambar tanpa henti di malam yang gelap dan dingin itu. Titik-titik air hujan mulai jatuh. Itulah yang terjadi saat aku sampai di kota kelahiranku. Setumpuk kenangan menggumuli batin. Memaksaku berdoa agar masih disisakan kesempatan.
Aku telah meninggalkan dia setahun lalu, wanita yang teramat sangat mencintaiku. Kutinggalkan demi menikahi wanita lain, yang kuanggap lebih baik darinya. Aku salah besar, tentu saja. Yang terakhir ini mencampakkanku. Dan aku tidak menyesalinya.
Sekarang aku kembali demi dia yang telah kukhianati dengan kejam. Dan aku sangat takut dia bakal menolak mentah-mentah. Bagaimana aku bisa berharap dia memberi maaf, sementara aku sendiri tak mampu memaafkan diriku sendiri.
Ya, hatiku penuh ragu dan kecemasan. Tapi aku tetap berjalan. Menuju alamat terakhirnya. Bukan karena aku gagah berani. Aku hanya tidak tahu harus berbuat apa lagi. Jadi aku tetap melangkah. Terus, dan terus, dan.....
Aku terkejut.
Ketika itu aku sampai di satu-satunya taman di kota kelahiranku. Kami sering bertemu di sana. Taman itu memang favorit kami berdua untuk tempat kencan. Seharusnya tak ada orang datang di malam dan cuaca seperti ini. Tapi kulihat ada sesosok bayangan berdiri dekat pohon terbesar di taman itu.
Dan bayangan itu ternyata adalah wanita yang kucari.
Harusnya aku merasa ganjil melihat kesendiriannya di tempat itu. Apalagi di waktu seperti sekarang. Tapi batinku sesak oleh harap untuk selekas mungkin menjumpai dirinya. Dan ketakutanku terbesar adalah tidak bisa menjumpainya. Itulah kenapa aku hanya merasakan kegembiraan saat melihat dia di sana.
'Rianti,' aku berseru sambil menghampirinya.
Dia menoleh memandangku. Penerangan di taman ini agak redup, tapi cukup untuk menjelaskan penampilannya saat itu. Dia tetap cantik seperti terakhir kali melihatnya. Tetapi ada sesuatu yang membuatnya terkesan janggal.