*22Oktober (Hari Santri Nasional)
                    Oleh: Nufi Asii Fairuziyyah
   Tinta emas sejarah telah mencatat momentum besar hasil perjuangan Kyai Hj. Hasyim Asy'ari sang pemegang kekuasaan Nahdlatul 'ulama dan Kyai Hj. Ahmad Dahlan
sebagai pelopor gerakan muhammadiyah. Kedua tokoh legendaris di tingkat
pondok-pesantren ini telah memberikan sebuah jihad nyata untuk Indonesia, yakni
melahirkan para santri yang di punggungnya sudah mendapat amanah untuk
menyelamatkan negeri.
   Problematika dunia terutama di Indonesia semakin mengalami degradasi yang sangat
signifikan. Kasus-kasus aparat tercecer di sudut belokan selokan seakan sudah
menjadi pemandangan yang biasa bagi rakyat. Alih-alih mereka membicarakannya
karena masalah ekonomi dan lain sebagainya. Indonesia sudah menjadi ruang lingkup
permasalahan mirip sekali dengan rantai makanan.
   Kelahiran santri adalah sebuah mentari. Presiden Republik Indonesia Abdurrahman
Wahid atau Gus Dur sebagai julukan akrabnya ini menyuarakan bahwa identitas santri
diambil dari kosakata bahasa asing "Sun" yang berarti matahari dan "tri" ialah tiga.
Tak lain maksud dari tiga matahari ini menegaskan bahwa seorang santri ditugaskan
untuk mengemban amanah pada tiga kekuasaan, penulis menyebutnya dengan trilogi sifat yakni pertama memanusiakan manusia, memanusiakan semesta dan
mencintai penciptanya.
   Sumber daya alam di Indonesia sangatlah banyak. Bahkan kian menjadi negara padat
penduduk pada urutan kedua setelah India. Hal ini seharusnya sudah memetakan sebuah konsep bagaimana dengan padatnya penduduk sikap memanusiakan manusia tetap terjalin utuh. Alih-alih yang miskin malah semakin miskin. Media berserakan memberitakan kerusakan lingkungan atau alam. Hal ini terjadi lantaran jembatan-jembatan ulah manusia yang tidak memiliki rasa empati kepada alam
semestanya.Â
   Selanjutnya setiap agama memiliki Tuhan. Yang tanpa kita sadari bahwa tidak sedikit dari kita yang melupakan siapa yang menciptakan, sehingga minim mengabdi penuh kepada Sang Pencipta. Mudah melakukan hal-hal yang dilarang oleh agamanya sendiri. Begitu miris.
   Sama halnya dengan kisah negeri Saba yang dikisahkan dalam Al-Qur'an. Bahwa
dulunya negeri tersebut sangatlah makmur. Empunya buah-buahan yang melimpah,
rezeki penduduk yang meruah dan kehidupan yang selalu mudah. Namun karena
kaum tersebut lalai akan pencipta dan memaksimalkan kekayaannya dengan segala
kekotoran, tak segan-segan bahwa akhirnya Tuhan mencabut kenikmatan di
dalamnya.
   Dalam neraca kehidupan, santri memang dituntut lihai dalam melatih mindset dan
culture-set anti goyah yang kelak turut dituntut menjadi role model sebagai peran
garda umat Islam di Indonesia. Sisi pandang orang kebanyakan melihat kemampuan
santri hanya bisa menelan kitab kuning saja, namun justru karena kebiasaan baiknya
matlamat mengaji dan hasta jiwa nya yang suci, menjadikan santri lebih layak
memberi tonggak perubahan sebagai mediator yang kian menopang problematika
peradaban dunia terutama di Indonesia ini.
   Dalam bait nadhom kitab alfiyah pun disampaikan bahwa seorang santri akan menjadi penerus bagi perjuangan para ulama dimuka bumi ini. Memberantas kemunafikan
serta menegakkan keadilan, memberikan kehidupan tersendiri bagi mereka yang
hidup namun tak merasa hidup, memanusiakan manusia seutuhnya dan jihad fi sabilillah tentunya.
   Hemat penulis bahwa santri adalah kesatria yang dilahirkan untuk menjadi setegak
pasak merah putih. Jihadnya akan terus bersinar layaknya seorang pemimpin yang
cakap jiwa-ruhnya. Perubahan Indonesia bukan hanya pada konsep miniatur yang
dapat dilihat mata, tetapi pada muhasabah terhadap diri sendiri dan masyarakat.
Jangankan bakti untuk negeri, petuah Tuhan saja dipatuhi (Siapa lagi solusinya kalau
bukan santri?).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H