[caption id="attachment_269295" align="aligncenter" width="300" caption="Pekerja Anak di Pasar Tradisional. Foto : Nurul Fajri"][/caption] Selesai liputan di salah satu kantor dinas provinsi, hp saya lowbat berat. Daya tambahan yang biasanya saya bawa juga tidak bisa diharapkan. Walhasil, saya harus mencari tempat yang bisa menyediakan aliran listrik. Dan di sinilah awal perjumpaan saya dengan Andi, anak kelas 6 SD yang bekerja sebagai penjaga helm sekaligus juru parkir.
Saya tak lama di warung kopi itu, barangkali tak cukup sejam. Setelah memposting berita, berjalanlah saya menuju parkiran motor. Di sana telah menunggu bocah usia sekolah dasar. Keisengan dalam diri saya pun muncul. Dari gelagatnya yang saya baca, dia menunggu saya untuk membayar parkir.
Sengaja mengambil hp dari dalam tas. Sengaja mengirim sms, dan sengaja mengutak atik aplikasi hp. Bocah ini tetap setia berdiri di dekat saya. Melihat ekspresinya, ia seolah berkata kapan saya akan memberinya uang.
Seribuan yang ia harapkan tak juga saya beri. Malah saya langsung mengajak ngobrol. Dari obrolan itu, ia bercerita bahwa masih kelas 6 Sd. Sekolahnya tak jauh dari tempatnya bekerja. Selain itu, rumahnya berada di belakang tempat ia bekerja.
Santun namun jujur, ia bertutur jika yang menyuruhnya menjaga parkir adalah ayahnya sendiri. Ketika saya tanyakan mengapa iya tak menolak, dengan polos ia mejelaskan kalau di rumahnya sedang ada tamu. Dan ayahnya ingin dia untuk menggantikan kerjaannya.
Singkat cerita, keheranan pun muncul. "Kenapa tidak pulang ke rumah?" tanya saya.
"Dilarang ka sama bapak ku, pulang pi tamunya baru bisa ka pulang juga ke rumah," jawabnya.
Sialan! Aku mengumpat. Ayah macam apa itu yang menyuruh anaknya menggantikan pekerjaannya? Ah, atau ini hanya model komunikasi antara ayah dan anak yang saling mengerti? Bagaimana pun pekerjaannya, ayahnya telah melanggar hukum.
Sebuah konvensi internasional memiliki payung hukum dan tak boleh mempekerjakan anak dibawah umur. Jika lembaga hukum mengetahui, ayahnya bisa dijerat pasal yang berlaku.
Syarat bagi seorang anak untuk bekerja berdasarkan Konvensi ILO 189 yang mencantumkan usia minimal 18 tahun untuk bekerja.
Sosialisasi hukum tidak berjalan maksimal. Ratifikasi konvensi pun belum dilakukan oleh pemerintah. Rancangan Perda malah mandek di legislatif. Padahal, banyak diantara masyarakat bawah yang terjebak pada pola ini untuk mempekerjakan anak.
Selesai mengobrol, akhirnya saya tahu, nama bocah ini Andi.
Sejarah kehidupan kita besok, akan ditentukan oleh kehidupan mereka sekarang. Jika mereka menuntut bahwa masa lalu anak-anak ini karena kesalahan kita, dengan legowo kita harus mengaku. Kita memberi sumbangsih hancurnya masa depan mereka. Dan mereka punya hak menuntut itu.
Halaman web blog tulisan saya http://www.eksistensiperempuan.blogspot.com/2013/09/bertemu-andi-pekerja-anak-yang-disuruh.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H