Mohon tunggu...
Nuya
Nuya Mohon Tunggu... Lainnya - nu'aim khayyad

Madridista dan penghafal ayat kursi..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pilkada dan Obyektivitas As Syafi'i

7 September 2020   16:28 Diperbarui: 7 September 2020   16:30 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kendati puncak pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun ini akan dihelat desember mendatang. Suhu politik di daerah semakin mendekat bulan H semakin memanas.

Para bakal pasangan calon (bapaslon) yang berlaga telah menyelesaikan pendaftaran dalam waktu yang sudah ditentukan yaitu tanggal 3 - 6 september kemarin. Dan untuk daerah saya, telah rampung dengan 3 bapaslon. 

Riuh massa mengantar sang pujaan ke kantor KPUD tak dapat lagi dihindari. Akses jalan utama yang biasa digunakan warga terpaksa dialihkan sementara untuk menghindari iring-iringan konvoi massa.  Melihat jubelan massa yang padat bersesak, sepertinya kalimat yang patut disematkan "covid 19 tak lagi bertaring di sini."

Padahal jika berpedoman pada peraturan KPU bahwa pendaftaran dilakukan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, tidak melibatkan massa dalam jumlah besar apalagi berkumpul dengan jarak yang sangat tidak mengindahkan protap kesehatan.  

Saya pribadi tidak akan menyorot persoalan pelanggaran dalam konstelasi perpolitikan ini, biarlah menjadi kewenangan lembaga penyelenggara pemilu.  

Namun yang tak akan pernah selesai dalam setiap perhelatan politik itu, selalu saja disuguhi sesuatu yang kurang elok secara keharmonisan berhubungan antar individu maupun antar kelompok. Hal-hal sepele dapat menjadi pemicu benturan di tingkat bawah.

Kerap terjadi misalnya, karena saling mengepalkan tangan saat iring-iringan konvoi seraya berteriak atas nama jagoan masing-masing akhirnya menjurus kepada saling plotot-plototan. 

Dampak lanjutannya yaitu pada keharmonisan sesama ; antar tetangga makin renggang, di tempat kerja saling sentimen bahkan dalam satu keluarga menjadi tidak akur.    

Lumrah memang, dalam konstelasi politik. Gesekan-gesekan itu tetap akan ada. Dan itu, tidak hanya pada 'level tertentu', bahkan bisa terjadi di semua level dan tingkatan dalam masyarakat.

Perseteruan, sebab saling sanjung menyanjung dan 'pemujaan' berlebihan terhadap kandidat yang diusung terus berlangsung ---- dalam dunia maya pun dunia nyata.

Apalagi jamak diketahui bahwa pemanfaatan jejaring sosial sebagai sarana politik, sangatlah massif. Penggunaan media sebagaimana Tjumano dalam sebuah artikel (Konglomerasi Media Massa) dapat mewujud dalam berbagai varian ; pencitraan publik, meruntuhkan popularitas lawan politik hingga sebagai alat untuk menyerang balik serangan-serangan politik. Pendek kata, media dapat menjadi kekuatan baru dalam menggiring opini publik.  

Maka tak heran dalam jagat medsos kita, dijumpai berbagai rupa coretan di dinding medsos dari yang berkelas hingga ocehan ala emak -- emak, pun turut membumbui urusan politik daerah meski dengan kadar sekedar dan sekenanya. Semuanya, menjadikan media sebagai wahana menjaring simpatisan untuk kemenangan paslon masing-masing. Fesbuk terutama ---- paling cetar nan laris manis.

Pandangan Obyektif

Bagaimana seharusnya menyikapi perbedaan pilihan di tengah masyarakat, hemat saya telah banyak dikupas tuntas baik dalam ruang diskusi maupun dalam tulisan.

Namun yang perlu dibudayakan adalah menjaga segala sesuatu pilihan itu agar tetap berdiri di atas obyektivitas. Lalu apa yang perlu direduksi seminal mungkin ?  'fanatisme buta alias cinta berlebihan'.  

Bukan hanya kurang baik namun dapat mengarahkan kepada tidak berfungsinya akal sehat. Lihat saja, bagaimana begitu ringannya para simpatisan politik melemparkan perkataan-perkataan yang kurang berkenan secara etika bermedia sosial. Kenapa ? sebab cinta dan 'pemujaan' berlebihan pada pilihannya.  

Seolah konsep yang diusung "menolak kebenaran apapun dari pihak lawan"  sehingga klaim-klaim kebenaran pun mencuat menjelma pedang yang siap melukai pihak lain. 

Jika demikian adanya, maka penyelenggaraan pilkada yang fair di atas kebenaran dan obyektivitas enggan mendekat, untuk kemudian mengarah kepada saling menjatuhkan.

Sepertinya pepatah yang sudah kita hapal saat SD dahulu berlaku " kuman di seberang lautan tampak tapi gajah di pelupuk mata tak nampak. Kondisi demikian digambarkan pula oleh Imamuna as Syafi'I dalam diwan (sya'ir) nya :

Wa 'ainur ridhaa 'an kulli 'aibin kaliilah 

kamaa anna 'ainas sukhti tubdii al masaawiyaa

"Mata bila dibalut cinta, ia buta terhadap nista.

Tapi mata bila diliputi benci, ia hanya melihat yang keji.

Kelompok A akan membela calonnya mati-matian meski terdapat salah. Apa sebab ? Mata atau pandangan telah dibalut cinta berlebihan. Tetapi sebaliknya kelompok B akan memandang buruk kelompok A habis-habisan alias tidak pernah ada baiknya, sebab mata telah dibalut pula dengan kebencian.

Bagaimana sebaiknya ? adalah ainul yaqin kata Imam Syafi'i melanjutkan. Pandangan obyektif yaitu melihat segala sesuatunya dengan apa adanya, tidak dilebih-lebihkan, pun tidak dikurangi.

Demikian. Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun