[/caption]
Di hamparan pegunugan Tambora yang berakhir di laut Banda. Dahulu, kira-kira 2000 tahun silam, hamparan itu masih menyatu dengan pulau Moyo, pulau Satonda dan pulau-pulau kecil lainnya. Di sana, pernah terlukis alam yang sangat indah, paduan antara keindahan daratan hijau, pegunungan dan panorama laut yang sangat menawan. Kehidupan satwa, yang penuh rona bahagia bermain di luas area tempat tumbuhnya berbagai jenis pepohonan yang selalu berbunga dan berbuah sepanjang musim.
Siang itu langit jernih, warna biru muda menghampar dari garis langit sebelah timur menuju langit barat. Sepertinya, alam semesta begitu ceria menyambut datangnya hari itu. Dari arah timur, seekor kuda putih dengan gagahnya melintas di daerah padang – sabana yang ditumbuhi ilalang hijau. Kuda itu ditunggangi oleh seorang pemburu muda yang terpisah dari rombongannya, tersesat ke arah pantai utara. Pemuda itu, adalah lelaki perkasa sakti mandraguna, ia bernama La Tonda. Pada dadanya yang bidang melilit tali busur dan rumah panah yang menyilang di punggungnya.
Tidak jauh dari tempatnya berdiri, La Tonda melihat sebuah perahu mengapung di atas permukaan laut, sampai kemudian secara perlahan terdampar di tepi pantai. Dari kejauhan tampak penumpangnya adalah seorang gadis cantik.
Kemudian La Tonda menghampiri dan memberanikan diri menegurnya.
“Wahai engkau gadis jelita nan cantik, siapakah gerangan dikau…”
“Namaku Ari Mantika. Aku hidup sebatang kara. Tolonglah aku…” Ia memelas, La Tonda terharu. Perkenalan pertama ini begitu lain dirasakan oleh La Tonda. Ada bagian hati yang tidak dapat ia jelaskan. Akhirnya, setelah cukup lama berpikir, La Tonda menolongnya.
La Tonda dan Ari Mantika pun pulang, dalam perjalanan mereka tidak pernah saling tegur sapa, kendati secara tidak sadar tangan Ari Mantika merangkul pinggang La Tonda di atas pelana kuda. Tidak lama kebekuan itu mencair. Mereka mulai bercakap, tentang kesukaan dan kegemaran masing-masing, asal usul dan sebagainya. Mulanya tanpa cinta, pembicaraan biasa, namun karena mereka saling mencurahkan hati. Ada banyak kesamaan pada diri mereka. akhirnya, mereka saling jatuh cinta.
“ Kak Tonda, aku begitu bahagia hari ini. Akhirnya, cinta kita tertuang dalam mahligai harapan…” ungkap Ari Mantika.
“ Aku pun demikian Dinda….”
Degup jantung kedua insan itu berpacu. Tiada kata yang bisa meluncur dari ujung lidahnya. Hanya seberkas makna kejujuran, kepolosan dan keluguan tentang makna detak nadi mereka.
“Aku ada ide, bagaimana bila kamu dan aku menulis ikrar di batu itu…”
La Tonda menunjuk ke arah batu yang menjorok ke laut, sedangkan di bawahnya jurang terjal dengan deburan ombak yang menghantam bukit karang. Ari Mantika mengangguk polos. Tiada kata yang keluar dari mulutnya, karena kebahagiaannya melebihi harapannya.
Mereka sepakat menulis ikrar, dengan tinta darah dari kedua jari mereka yang sengaja dilukai dan ditampung ke dalam cawan batok kelapa yang berserakan di sekitar pantai. Keajaiban pun terjadi, tiba-tiba dari langit, petir menyambar cawan penampung darah segar. “ Akh…! Teriak mereka terkejut.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H