Mentari pagi bersinar terang, di musim dingin ini
Titik embun di kelopak  bunga mekar menyambut cahaya itu
Bak kristal putih berbinar didatangi seekor lebah pekerja
Skesta alam berbaur dengan dengung  alam menggairahkan  sukma
Lebah  mengais madu, untuk dipersembahkan bagi komunitasnya
Walaupun kadang pekerjaannya bergelut maut , dia tetap berjuang.
Kabut -kabut racun dihadirkan , bukan untuk dia memang
Namun dia kena himbasnya.
Tak jarang,  lebah pekerja berguling pingsan lalu  mati perlahan
 Mati dengan dibelalainya mengandung nektar itu
Lebah pekerja sebagai cermin, dia jujur mengabdi untuk kemaslahatan kaumnya.
Letih lesu  tak ada dalam dirinya.
Walaupun giat dia tidak akan pernah menduduki jabatan ratu,
Ratu memang harus diselamatkan, tidak perlu direbut,
Dia sudah membawa karisma  sendiri,
Dia puas dalam tugas  mengabdi
Alam membuatnya menjadi pekerja, itu  sudah dianggap  berjasa.
Dia pahlawan, sama seperti pahlawan kita dulu,Â
Berjuang membela negara tanpa banyak menuntut, dan tanpa janji untuknya
Kini, alegori itu menjadi sinis bagi manusia di negeri ini
Bernafsu mencari gelar, jabatan bahkan kehormatan,Â
Walaupun didapat secara tak etis.
Kejujurn telah tanggal
Bertekuk lutut pada glemournya materi,Â
Kesan dunia, dicari  mengabaikan azas kepatutanÂ
Budaya adi luhung menguap , filsafat padi  semakin berisi, sudah tidak merunduk
Karena gelap mata  , dan hati buta semua posisi itu dikejar tanpa mengindahkan etika dan moralitas
Masyarakat sakit, karena dipapar  oleh hedonisme , telah meracuni generasi
Tak ada contoh, kehilangan panutan
Semua kemajuan bak istana pasir
Hatiku beku, Â air mata berlinang, sedih
Kalah oleh kejujuran sang lebah pekerja.
( Singaraja, 11 Juli 2024)