Mohon tunggu...
Naufal Syam
Naufal Syam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bukan Fans Kardus

Sejarah, Filsafat, Hukum, Politik dan Sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Antara Subsidi, Sanksi dan Minyak

7 September 2022   21:01 Diperbarui: 30 Juli 2023   15:25 1556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Beberapa waktu ini kita dihebohkan dengan kabar mengejutkan, padahal sebelumnya pemerintah sempat mengklarifikasi bahwa kabar tersebut tidak jadi. Namun, ternyata oh ternyata tepat pada hari Sabtu, 3 September 2022 pukul 14.30 WIB harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik!

  • Pertalite dari Rp 7.600 per liter menjadi Rp 10.000 per liter;
  • Solar dari Rp 5.000 per liter menjadi Rp 6.800 per liter;
  • Pertamax dari Rp 12.500 per liter menjadi Rp.14.500 per liter.

Naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tentu akan menimbulkan banyak efek domino, seperti naiknya harga ongkos kirim yang mana itu bisa berimbas dengan naiknya harga pangan yang ikut naik karena menyesuaikan dengan ongkos kirim dari produsen ke pedagang, lalu naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) juga bisa berimbas terhadap kenaikan ongkos transportasi umum karena penyedia jasa transportasi juga harus menyesuaikan pengeluaran dengan pemasukan mereka. Mengingat transportasi umum bisa berjalan karena adanya bahan bakar (minyak) jadi tentu kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sangat berpengaruh terhadap usaha mereka.

Memang kita tidak bisa menafikan bahwa yang dimaksud pemerintah disini ialah mengurangi subsidi yang tidak tepat sasaran bukan menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)! Oleh karena itu, maksud dari pemerintah disini sebenarnya baik hanya saja ada solusi yang jauh lebih baik tanpa harus menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Mengingat naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) juga harus disesuaikan dengan naiknya pendapatan per kapita masyarakat dan karena naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) secara tidak langsung, seperti memaksa masyarakat untuk beralih ke transportasi umum karena alasan efisiensi pengeluaran apalagi kalau harganya lebih terjangkau. Hanya saja apakah kualitas transportasi umum kita baik? Tentu saja masih banyak yang harus dibenahi...

Bayangkan apabila harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik akibat pengurangan subsidi, namun tidak diikuti dengan naiknya pendapatan per kapita dan peningkatan kualitas transportasi umum, maka apa yang akan terjadi? Yap sebuah bom yang akan meledak dengan sendirinya disaku mereka yang menengah kebawah, yaitu naiknya berbagai macam harga, salah satunya ongkos kirim dan penyedia jasa transportasi umum. Efek dari naiknya ongkos kirim akan sangat terasa pada harga pangan yang selalu menjadi hot topic disaat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik.

Lantas solusi apa yang dapat ditawarkan?

Sebelumnya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno sempat menyatakan bahwa Pak Jokowi tertarik membeli minyak Rusia karena 30 persen lebih murah dari pasar internasional.

"Rusia nawarin ke kita, eh lu mau nggak, India sudah ambil nih minyak kita harganya 30 persen lebih murah daripada harga pasar internasional. Kalau buat teman-teman CEO Mastermind ambil nggak? Ambil. Pak Jokowi pikir yang sama, ambil," ujar Sandiaga.

"Pak jokowi pikiranya sama, ambil. Ada yang ga setuju, karena takut wah nanti gimana diembargo Amerika. Ya biarin aja lah, kalo kita diembargo paling kita ga makan Mcdonalds, makan Baba Rafi lah," ujar Sandiaga.

Bukan hanya India, melainkan juga China telah menjadi pelanggan setia minyak (murah) Rusia bahkan baru-baru ini Turki yang merupakan anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan sahabat dagang Israel justru ikut-ikutan membeli minyak yang sebenarnya diharamkan oleh rombongan NATO. Selain Rusia, sebenarnya ada juga negara yang siap menawarkan minyak bahkan jauh sebelum Rusia menawarkan minyak murahnya, justru sudah laris manis diborong oleh China, India hingga Jepang dan Korea Selatan meskipun minyaknya diharamkan oleh beberapa negara barat terutama Amerika Serikat dan apabila melanggar maka akan mendapatkan sanksi, yakni Iran! 

Mengingat sejak Revolusi Islam (Syiah) Iran Tahun 1979 dan disertai dengan Krisis Sandera Iran yang mana terjadi penyanderaan terhadap 63 diplomat dan 3 warga negara Amerika Serikat selama 444 hari meskipun pada akhirnya total yang disandera adalah 52 orang karena Ayatollah Khomeini melunak dan melepaskan semua tawanan yang bukan warga negara Amerika Serikat, perempuan dan kelompok minoritas Amerika karena mereka dianggap sebagai kelompok yang ditindas oleh pemerintah Amerika Serikat. Akibat dari tindakan tersebut Presiden Amerika Serikat saat itu, Jimmy Charter menjatuhkan sanksi meskipun sempat dicabut tahun 1981 lalu dikenakan lagi oleh Ronald Reagan tahun 1983 dan diperparah oleh Bill Clinton tahun 1995 hingga akhirnya sanksi tersebut sedikit dilonggarkan pada era Obama tahun 2013 dan ditandai dengan normalisasi hubungan diplomatik meskipun pada akhirnya dikenakan lagi oleh Donald Trump tahun 2018.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu berani melakukan pembelian minyak murah dari Rusia dan Iran. Langkah ini jelas bisa dijadikan opsi untuk tidak menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) disaat pemerintah berupaya untuk mengurangi subsidi yang tidak tepat sasaran sembari meringankan beban pengeluaran pemerintah dalam hal pengadaan Bahan Bakar Minyak (BBM).

Namun, apabila kita berandai-andai apakah benar Indonesia akan menerima sanksi dari Amerika Serikat dan apakah itu sangat merugikan?

Bayangkan apa jadinya perusahaan sekelas Mcdonalds yang memiliki lebih dari 200 gerai yang tersebar di seluruh Indonesia ini tiba-tiba menuruti kemauan politik negara asalnya, yakni menutup 200 lebih gerai yang tiap bulannya menghasilkan banyak dollar?

Mungkin akan ada yang membantah bahwa di Rusia sendiri Mcdonalds rela menutup gerainya sebagai bentuk solidaritas terhadap Ukraina. Ya mungkin untuk jangka pendek itu benar adanya lagipula terlepas dari pro atau kontra, tindakan Rusia jelas salah di Ukraina jadi mereka layak mendapatkan pembalasan, salah satunya dengan sanksi. Itu Rusia yang jelas melakukan pelanggaran berat berupa invasi, sedangkan Indonesia? Apa hanya karena membeli minyak saja Mcdonalds rela menutup 200 lebih gerainya? Mungkin ada satu upaya (licik) Amerika demi melindungi kepentingannya tanpa harus membunuh secara langsung penduduknya dan ini sudah terjadi baru-baru ini di Pakistan dan pernah terjadi di Indonesia saat orde lama berganti ke orde baru.

Sebelumnya, Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan baru saja dilengserkan melalui mosi tidak percaya yang dilakukan oleh mayoritas anggota Parlemen Pakistan, banyak yang menduga lengsernya karena campur tangan Amerika meskipun pihak Gedung Putih membantahnya secara langsung. Bagaimana mungkin Amerika dijadikan biang keladi? Ini semua bermula dari kebijakan luar negeri Imran Khan yang sangat pro Beijing dan disaat Rusia menginvasi Ukraina, Imran Khan justru melakukan kunjungan ke Moskow, padahal maksud dari Imran Khan ialah agar Pakistan bisa bermain dua kaki dan mendapatkan minyak murah dari Moskow, seperti yang dilakukan musuh bebuyutannya, yakni India yang mampu menjalin aliansi dengan Moskow dengan menjadi pelanggan setia minyak dan alutsista Rusia, tetapi bisa menjalin aliansi dengan Washington DC dalam upaya melawan hegemoni China, padahal yang menariknya ialah baik China dan Rusia adalah bestie.

Di Indonesia sendiri mungkin kita ingat bahwa saat peralihan orde lama ke orde baru terjadi perubahan haluan politik yang sangat kontras dari yang tadinya sangat condong timur (Uni Soviet) menjadi sangat condong barat (Amerika Serikat) apalagi disaat Indonesia beralih ke pangkuan Amerika itu dilengkapi dengan lepasnya beberapa blok tambang, seperti yang paling terkenal ialah Pegunungan Grasberg yang dikuasai oleh Freeport. Oleh karena itu, banyak yang menduga baik G30S/PKI (Gerakan 30 September PKI) maupun Surat Perintah Sebelas Maret (supersemar) adalah konspirasi Amerika Serikat sebagai upaya untuk menjatuhkan Soekarno dan menaikkan Soeharto agar bisa menguasai kekayaan alam Indonesia. Terlepas dari benar atau tidak kita tidak dapat menafikan bahwa Amerika untung besar dalam peristiwa tersebut. 

Lagipula diera yang mana ekonomi global sangatlah terintegrasi atau yang kita kenal dengan istilah globalisasi ekonomi. Rasanya agak sulit memang menerapkan sanksi seenaknya berdasarkan kepentingan politik yang menurut Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Shoigu adalah Political Impotence yang apabila diartikan kedalam Bahasa Indonesia artinya Kepentingan Politik dan yang dimaksud kepentingan politik itu ialah kepentingan Amerika dan dedengkotnya.

Diluar itu semua, bukan berarti kita melupakan permasalahan utama, yaitu subsidi. Memang kita tidak bisa menafikan bahwa dalam konteks subsidi terdapat dua permasalahan, yakni pembagian subsidi secara merata baik itu untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) maupun untuk yang diluar itu, seperti subsidi pupuk. Bayangkan hanya untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) saja subsidinya bisa membengkak hingga lebih dari Rp502,4 triliun, yang semula Rp152,5 triliun, sedangkan untuk subsidi pupuk saja hanya Rp 25,3 Triliun dan itu turun 13,06% dari 2021 yang semula Rp 29,1 triliun. Selain itu, dalam hal pemberian subsidi yang tepat sasaran dalam konteks ini ialah Bahan Bakar Minyak (BBM), pemerintah juga bisa menerapkan kebijakan, seperti:

  • Pembangunan stasiun pengisian bahan bakar khusus untuk sopir angkutan umum;
  • Pembangunan stasiun pengisian bahan bakar khusus untuk sopir angkutan logistik.

Dengan adanya stasiun pengisian bahan bakar khusus dengan (harga) subsidi tentunya, dapat mewujudkan yang namanya subsidi yang tepat sasaran, seperti yang didambakan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga bisa melakukan pelarangan pengisian Pertalite untuk kendaraan mewah. Jadi kasus orang yang membawa motor ataupun mobil sport, tetapi mengisi dengan bahan bakar subsidi mustahil akan terjadi dan pemerintah dapat dengan mudah mengimplementasikan yang namanya pemberian subsidi secara merata karena biar bagaimanapun angkutan umum dan angkutan logistik diharuskan untuk tetap mendapatkan subsidi demi meringankan ongkos kirim dan jasa agar harga pangan ataupun transportasi umum tidak ikut melojak. Apabila pemerintah mampu mewujudkan langkah ini, maka sah-sah saja apabila pemerintah ingin menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), dengan ketentuan itu semua untuk ditunjukkan kepada mereka yang sekiranya tidak layak untuk mendapatkan subsidi. Namun, itu semua sebisa mungkin harus diiringi juga dengan naiknya pendapatan per kapita, harga minyak dunia, perbaikan pelayanan transportasi umum dan kualitas penunjangnya, seperti akses maupun infrastruktur yang mana semuanya juga harus terintegrasi supaya lebih efiesien.

Kebijakan pembangunan stasiun pengisian bahan bakar khusus untuk sopir angkutan umum dan juga sopir angkutan logistik ini sendiri mirip dengan kebijakan Menteri Perindustrian yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 117 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Yang mana tujuannya sama, yaitu pemberian (Bahan Bakar Minyak) subsidi yang tepat sasaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun