Namun, apabila kita berandai-andai apakah benar Indonesia akan menerima sanksi dari Amerika Serikat dan apakah itu sangat merugikan?
Bayangkan apa jadinya perusahaan sekelas Mcdonalds yang memiliki lebih dari 200 gerai yang tersebar di seluruh Indonesia ini tiba-tiba menuruti kemauan politik negara asalnya, yakni menutup 200 lebih gerai yang tiap bulannya menghasilkan banyak dollar?
Mungkin akan ada yang membantah bahwa di Rusia sendiri Mcdonalds rela menutup gerainya sebagai bentuk solidaritas terhadap Ukraina. Ya mungkin untuk jangka pendek itu benar adanya lagipula terlepas dari pro atau kontra, tindakan Rusia jelas salah di Ukraina jadi mereka layak mendapatkan pembalasan, salah satunya dengan sanksi. Itu Rusia yang jelas melakukan pelanggaran berat berupa invasi, sedangkan Indonesia? Apa hanya karena membeli minyak saja Mcdonalds rela menutup 200 lebih gerainya? Mungkin ada satu upaya (licik) Amerika demi melindungi kepentingannya tanpa harus membunuh secara langsung penduduknya dan ini sudah terjadi baru-baru ini di Pakistan dan pernah terjadi di Indonesia saat orde lama berganti ke orde baru.
Sebelumnya, Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan baru saja dilengserkan melalui mosi tidak percaya yang dilakukan oleh mayoritas anggota Parlemen Pakistan, banyak yang menduga lengsernya karena campur tangan Amerika meskipun pihak Gedung Putih membantahnya secara langsung. Bagaimana mungkin Amerika dijadikan biang keladi? Ini semua bermula dari kebijakan luar negeri Imran Khan yang sangat pro Beijing dan disaat Rusia menginvasi Ukraina, Imran Khan justru melakukan kunjungan ke Moskow, padahal maksud dari Imran Khan ialah agar Pakistan bisa bermain dua kaki dan mendapatkan minyak murah dari Moskow, seperti yang dilakukan musuh bebuyutannya, yakni India yang mampu menjalin aliansi dengan Moskow dengan menjadi pelanggan setia minyak dan alutsista Rusia, tetapi bisa menjalin aliansi dengan Washington DC dalam upaya melawan hegemoni China, padahal yang menariknya ialah baik China dan Rusia adalah bestie.
Di Indonesia sendiri mungkin kita ingat bahwa saat peralihan orde lama ke orde baru terjadi perubahan haluan politik yang sangat kontras dari yang tadinya sangat condong timur (Uni Soviet) menjadi sangat condong barat (Amerika Serikat) apalagi disaat Indonesia beralih ke pangkuan Amerika itu dilengkapi dengan lepasnya beberapa blok tambang, seperti yang paling terkenal ialah Pegunungan Grasberg yang dikuasai oleh Freeport. Oleh karena itu, banyak yang menduga baik G30S/PKI (Gerakan 30 September PKI) maupun Surat Perintah Sebelas Maret (supersemar) adalah konspirasi Amerika Serikat sebagai upaya untuk menjatuhkan Soekarno dan menaikkan Soeharto agar bisa menguasai kekayaan alam Indonesia. Terlepas dari benar atau tidak kita tidak dapat menafikan bahwa Amerika untung besar dalam peristiwa tersebut.Â
Lagipula diera yang mana ekonomi global sangatlah terintegrasi atau yang kita kenal dengan istilah globalisasi ekonomi. Rasanya agak sulit memang menerapkan sanksi seenaknya berdasarkan kepentingan politik yang menurut Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Shoigu adalah Political Impotence yang apabila diartikan kedalam Bahasa Indonesia artinya Kepentingan Politik dan yang dimaksud kepentingan politik itu ialah kepentingan Amerika dan dedengkotnya.
Diluar itu semua, bukan berarti kita melupakan permasalahan utama, yaitu subsidi. Memang kita tidak bisa menafikan bahwa dalam konteks subsidi terdapat dua permasalahan, yakni pembagian subsidi secara merata baik itu untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) maupun untuk yang diluar itu, seperti subsidi pupuk. Bayangkan hanya untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) saja subsidinya bisa membengkak hingga lebih dari Rp502,4 triliun, yang semula Rp152,5 triliun, sedangkan untuk subsidi pupuk saja hanya Rp 25,3 Triliun dan itu turun 13,06% dari 2021 yang semula Rp 29,1 triliun. Selain itu, dalam hal pemberian subsidi yang tepat sasaran dalam konteks ini ialah Bahan Bakar Minyak (BBM), pemerintah juga bisa menerapkan kebijakan, seperti:
- Pembangunan stasiun pengisian bahan bakar khusus untuk sopir angkutan umum;
- Pembangunan stasiun pengisian bahan bakar khusus untuk sopir angkutan logistik.
Dengan adanya stasiun pengisian bahan bakar khusus dengan (harga) subsidi tentunya, dapat mewujudkan yang namanya subsidi yang tepat sasaran, seperti yang didambakan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga bisa melakukan pelarangan pengisian Pertalite untuk kendaraan mewah. Jadi kasus orang yang membawa motor ataupun mobil sport, tetapi mengisi dengan bahan bakar subsidi mustahil akan terjadi dan pemerintah dapat dengan mudah mengimplementasikan yang namanya pemberian subsidi secara merata karena biar bagaimanapun angkutan umum dan angkutan logistik diharuskan untuk tetap mendapatkan subsidi demi meringankan ongkos kirim dan jasa agar harga pangan ataupun transportasi umum tidak ikut melojak. Apabila pemerintah mampu mewujudkan langkah ini, maka sah-sah saja apabila pemerintah ingin menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), dengan ketentuan itu semua untuk ditunjukkan kepada mereka yang sekiranya tidak layak untuk mendapatkan subsidi. Namun, itu semua sebisa mungkin harus diiringi juga dengan naiknya pendapatan per kapita, harga minyak dunia, perbaikan pelayanan transportasi umum dan kualitas penunjangnya, seperti akses maupun infrastruktur yang mana semuanya juga harus terintegrasi supaya lebih efiesien.
Kebijakan pembangunan stasiun pengisian bahan bakar khusus untuk sopir angkutan umum dan juga sopir angkutan logistik ini sendiri mirip dengan kebijakan Menteri Perindustrian yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 117 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Yang mana tujuannya sama, yaitu pemberian (Bahan Bakar Minyak) subsidi yang tepat sasaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H