PENDAHULUAN:
Pada masa perkembangan remaja, penting untuk membentuk identitas pribadi, yang dicapai dengan memahami konsep diri. Konsep diri merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan remaja, karena menentukan perilaku seseorang. Konsep diri tidak diwariskan tetapi mulai berkembang pada masa kanak-kanak dan terus berkembang seiring dengan berkembangnya seseorang, dipelajari melalui pengalaman yang diperoleh selama berinteraksi dengan lingkungan sosial.Â
Dalam pengembangan pribadi, individu harus mempunyai kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengalami refleksi tentang bagaimana ia ingin membangun dirinya, apa yang telah ia bangun dan mempersiapkan diri secara sadar untuk berorientasi pada tujuan pengembangan pribadinya di masa depan. Asumsi tersebut mengandung makna bahwa pendidikan umum dan klasikal yang dalam banyak hal lebih mementingkan pembelajaran intelektual, harus disertai dengan upaya strategi yang sistematis melalui konseling untuk membantu pengembangan pribadi siswa, penanaman dan penyerapan nilai-nilai yang diperoleh dalam pendidikan umum dan mengembangkan keterampilan hidup.Â
Menurut Hurlock, konsep diri adalah pemahaman dan harapan seseorang terhadap apa yang dikehendaki atau diharapkannya serta apa realitas dirinya yang sebenarnya. Itu bisa bersifat fisik atau psikologis. Pengenalan konsep diri dapat mengarahkan remaja untuk mengevaluasi kemampuan diri dan mengembangkan konsep diri. Perkembangan konsep diri yang berkembang pada aspek kognitif dan emosional memungkinkan remaja mengevaluasi dirinya secara realistis dan positif. Penilaian ini berkembang atas dasar pengalaman pribadi dimana individu menjadi objek persepsinya serta pengalaman yang diperoleh melalui pembelajaran dan penilaian terhadap lingkungannya, termasuk penilaian orang lain terhadap diri sendiri. Dengan cara ini, remaja akan memperoleh gambaran utuh tentang dirinya.
Pada umumnya remaja masih merasa kebingungan dalam menemukan citra dirinya karena belum menemukan keadaan dirinya secara utuh. Di satu sisi remaja merasa dewasa, matang dan kuat dalam menyelesaikan permasalahan. Namun di sisi lain, remaja selalu merasa minder dan khawatir terhadap dirinya sendiri, sehingga selalu membutuhkan perlindungan dan bantuan orang tuanya.
Remaja dengan citra diri positif cenderung menjadi pemecah masalah ketika menghadapi masalah, cenderung kreatif dan spontan, serta memiliki harga diri yang tinggi. Para remaja ini percaya diri, memiliki motivasi dan prestasi akademis yang baik, serta memiliki sikap positif dan tidak memihak dalam berinteraksi dengan orang lain. Konsep diri yang positif telah terbukti berperan dalam adaptasi diri dan memainkan peran protektif pada remaja terhadap perilaku bermasalah. Citra diri positif diperkirakan berkorelasi dengan prestasi akademik.
Di sisi lain, citra diri negatif individu dikaitkan dengan berbagai perilaku maladaptif dan gangguan emosional. Permasalahan dan kesulitan yang dihadapi dapat menyebabkan rendahnya harga diri, namun rendahnya harga diri juga dapat menimbulkan masalah yang dapat menyebabkan hilangnya motivasi belajar. Oleh karena itu, mengembangkan rasa percaya diri pada remaja merupakan langkah penting yang harus diperhatikan oleh orang tua dan pendidik agar dapat membangun citra diri yang positif.
METODE PENELITIAN:
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Subjek penelitian adalah siswa kelas X SMA AL HASRA Depok yang dipilih secara purposive sampling berdasarkan kriteria nilai akademik paling rendah dan kesediaan untuk berpartisipasi. Teknik pengumpulan data yang diterapkan yakni dengan wawancara mendalam terhadap siswa, untuk memahami persepsi siswa tentang diri mereka sendiri, pengalaman belajar, serta dukungan lingkungan terhadap pembentukan konsep diri. Kemudian observasi dilakukan di lingkungan sekolah SMA AL HASRA DEPOK untuk mendalami siswa serta sikap siswa terhadap proses pembelajaran.
HASIL PENELITIAN:
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menemukan bahwa konsep diri positif dan konsep diri negatif pada seorang siswa yang penulis wawancarai menunjukkan bahwa dia belum benar-benar memahami tentang konsep diri pada dirinya sendiri. Tetapi bisa penulis deskripsikan bahwa siswa tersebut cenderung menyampaikan konsep diri negatif yang dimana faktor penyebabnya itu terdapat pada lingkungan keluarga yang kurang mendukung.
Peneliti mewawancarai seorang siswa bernama Ahmad Zulkarnain kelas X-1 (sepuluh satu) usia 16 tahun dan program peminatan yang diambil adalah peminatan ilmu pengetahuan alam (IPA) di SMA AL-HASRA Depok. Ketika diwawancarai berdasarkan pedoman wawancara yang digunakan untuk mendapatkan jawaban dari siswa tersebut; pertama, dia merasa percaya diri saat berada di sekolah dan saat melakukan sesuatu hal yang baru bagi dia. Pengalaman yang bisa membuat dirinya percaya diri yaitu ketika ia berolahraga dan belajar dalam mata pelajaran bimbingan konseling.
Kemudian ia merasa senang ketika belajar pada mata pelajaran bimbingan konseling karena guru dalam menyampaikan materi beserta tugasnya mudah dimengerti. Menurutnya mata pelajaran bimbingan konseling ini hanya membahas tentang kehidupan sehari-hari, mencari tahu tentang dirinya yang merasa terus gagal dalam pelajaran dan mengajarkan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan olehnya. Lalu dalam olahraga atau pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan (PENJASORKES), dirinya sangat senang ketika mata pelajaran tersebut terlebih ketika ada materi atau pertandingan bulu tangkis, karena bagi dia olahraga tersebut adalah hobinya.
Selanjutnya, ketika ia menghadapi kegagalan dalam belajar ia mencoba untuk belajar semampu dia dan semaksimal mungkin yang ia bisa. Namun, pada kenyataannya dia tetap saja tidak bisa mendapatkan nilai yang memuaskan atau bahkan paling tidak diatas kriteria ketuntasan minimal dari mata pelajaran yang dipelajarinya. Dalam hal dia memotivasi dirinya ia hanya bisa melanjutkan hari-harinya seperti biasa dan tidak terlalu mempedulikan kegagalannya itu karena tidak menghasilkan nilai yang lebih baik.
Ketika siswa tersebut mengatasi tantangan di sekolah dirinya lebih berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman-temannya dari kelas lain. Karena menurutnya di kelas yang sekarang ia dapatkan teman-teman sekelasnya itu lebih pintar dan lebih cerdas daripada dirinya. Maka dari itu ia cenderung memilih banyak berinteraksi dengan teman-temannya di kelas lain yang menurutnya mereka lebih mendukung dan bisa membuat dirinya lebih nyaman ketika dirinya bersama mereka.
Saat siswa tersebut memandang dirinya secara positif ketika menghadapi kekurangan ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan teman-temannya yang menurutnya cocok dan memiliki pandangan yang sama terhadap kekurangannya tersebut. Dia lebih banyak bergaul dengan teman-temannya yang tidak memandang dirinya lemah dan memandang dirinya sama seperti teman-temannya.
Dalam hal membuat tugas, menyelesaikan soal materi, dan memahami materi dirinya merasa tidak pernah paham dan tidak pernah mengerti apa yang disampaikan oleh gurunya pada beberapa mata pelajaran. Dikarenakan sikap gurunya yang cenderung melihat dirinya lemah dalam belajar, tidak mau mengerti dan menuduh dengan hal-hal yang tidak pernah dilakukannya.
Kejadian yang membuat dirinya merasa frustasi lebih tepatnya bukan di sekolah. Tetapi justru ketika dirinya di rumah. Dimana rumah seharusnya menjadi tempat ternyaman dan paling tenang untuk bisa beristirahat. Tetapi bagi dia rumahnya itu sangat tidak nyaman untuk dijadikan tempatnya beristirahat dari kegiatannya sehari-hari. Ketika dia komunikasi dengan orang tua itu tidak lama, bahkan orangtuanya cenderung membentak dirinya, memarahinya tanpa alasan yang jelas. Hingga kedua orangtuanya bertemu pun mereka tidak bisa berkomunikasi dengan baik, hanya saling menyalahkan satu sama lain. Sehingga dia kurang mendapat kasih sayang, perhatian dan dukungan dari kedua orangtuanya karena mereka juga sangat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Tentunya menjadikan dirinya ketika di rumah hanya bisa diam di kamar atau dia lebih baik pergi keluar rumah bermain dengan teman-temannya di luar rumah.
Hal tersebut juga menjadi faktor penyebab penghambat kemajuan akademisnya dan nilainya yang dibawah kriteria ketuntasan minimal. Selain itu, dari faktor guru-guru yang ketika melaksanakan kegiatan belajar mengajar itu tidak jelas apa yang disampaikan oleh mereka dan cenderung hanya memberikan tugas-tugas tanpa guru-gurunya benar-benar menyampaikan materi dari mata pelajaran yang dipelajarinya.
Ia tidak pernah merasa ragu untuk mencoba melakukan sesuatu hal apapun. Dirinya merasa bahwa yang penting dia sudah mau berusaha dan dia mau mencoba. Bahkan ketikapun nilainya dibawah rata-rata seperti yang sudah dijelaskannya. Karena menurutnya pandangan orang lain tidak begitu berarti tetapi bagaimana dirinya bisa menyatu dengan teman-teman yang berada dalam frekuensi yang sama seperti dirinya.
Kejenuhan dalam belajar yang ia alami yaitu ketika gurunya tidak mengajar dengan baik kepadanya dan tidak memberikan materi yang jelas. Bahkan gurunya tersebut cenderung memandang dirinya negatif dan menuduh hal-hal yang rasanya dirinya tidak pernah melakukannya, tetapi guru tersebut malah menuduhnya. Itulah yang ia alami saat dirinya merasa jenuh dalam kegiatan belajar mengajar.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini didapatkan bahwa siswa tersebut merasa tidak keberatan ketika ia harus menghadapi terulangnya kegagalan yang dialaminya. Karena dirinya merasa sudah berusaha semaksimal yang dia mampu untuk bisa meningkatkan nilai akademisnya. Hanya saja kembali lagi ada faktor-faktor yang membuat dirinya juga terhambat dalam mencapai prestasi akademik yang maksimal atau paling tidak diatas kriteria ketuntasan minimal, yakni kurangnya dukungan dari kedua orangtuanya di rumah dan guru-guru yang tidak bisa menyampaikan materi dengan efisien dan efektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H