Mohon tunggu...
Humaniora

Menangkal Hoax di Era Literasi Digital dengan Metode Sharing itu 3S (Saring Sering-sering)

9 November 2017   15:17 Diperbarui: 9 November 2017   18:19 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh:

Noor Syahri Rahmadani,S.Pd.

(SMAN 4 Palangka Raya)

Sebagai bagian dari masyarakat millennial, sebagian besar masyarakat Indonesia masa kini telah menikmati kehidupan yang serba canggih dimana kita selalu terhubung dengan akses internet. Kita dapat dengan mudah mengakses beragam informasi terbaru baik dari portal berita maupun media sosial, mulai dari yang ringan hingga berat melalui gawai yang kita miliki.  Ibarat sudah menjadi kebutuhan primer, pengeluaran internet sudah masuk ke dalam anggaran pengeluaran rutin. Tidak mengherankan dalam hasil survei yang dilakukan APJII (Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia) di tahun 2016, tercatat ada 132,7 Juta Pengguna Internet di Indonesia, yang mana sebelumnya di tahun 2014 terdapat 88 juta pengguna Internet di Indonesia. Kenaikan jumlah pengguna yang tergolong signifikan ini tentu mendorong perubahan perilaku masyarakat secara menyeluruh termasuk perilaku dalam berliterasi.

            Konteks literasi zaman modern tentu lebih kompleks bila dibandingkan pada era sebelum IPTEK berkembang pesat. Literasi tidak lagi dipandang sebagai kegiatan 'membaca' buku semata, literasi telah masuk ke dalam ranah 'membaca' yang di dalamnya  terdapat proses mengakses, merangkai, memahami, mengolah dan menyebarluaskan informasi . Dari data APJII satu tahun silam, dalam perilaku pengguna internet Indonesia tentang alasan utama mengakses internet, persentase terbesar ialah untuk update atau memperbarui informasi sebanyak 25,3 % dari total seluruh responden . Jadi, dengan adanya kolaborasi antara  informasi dan 'dikatalisasi' dengan kehadiran internet dan gawai seperti ponsel dan komputer maka muncullah istilah literasi digital.

Lantas, bagaimana dengan perkembangan literasi digital di Indonesia saat ini? Bila berkaca pada situasi masyarakat saat ini, akhir-akhir ini kita diresahkan dengan maraknya kasus hoax. Bahkan, dikarenakan hoax sudah menjadi fenomena nasional yang mengkhawatirkan, hingga akhirnya kata hoax sendiripun diserap ke dalam bahasa Indonesia, menjadi hoaks, yang dikutip dari laman resmi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring.  Hoaks atau informasi palsu yang beredar di tengah masyarakat seolah disulut dengan mudahnya menggunakan teknologi yang ada.  Berikut contoh berita palsu alias hoaks yang disebar melalui aplikasi chatting:

Puncaknya, di tahun 2017 ini , Aparat Kepolisian telah berhasil meringkus komplotan bernama 'Saracen' yang memanfaatkan momentum situasi politik Indonesia yang sedang memanas dengan berbisnis menjual konten isu-isu SARA yang bermuatan ujaran kebencian dan hoaks. Bayangkan saja, hanya dengan 'klik' untuk  turut menyebarkan informasi yang sesat, berujung kepada berbagai persoalan di tengah masyarakat yang berpotensi memecah belah persatuan bangsa. Sehingga, diharapkan adanya upaya preventif bersama yang sinergis untuk memerangi wabah hoaks yang meresahkan ini.

            Untuk menjawab tantangan di era literasi digital ini, sebagai seorang pendidik era modern haruslah memberikan pencerahan kepada para pelajar, yang rata-rata sudah melek teknologi, mengenai pentingnya pemahaman tentang pemanfaatan teknologi yang positif dan bijak.  Pada kesempatan ini, penulis akan memaparkan metode yang dinamakan 'Sharing itu 3S (Saring Sering-Sering) sebagai upaya menekan laju 'virus' hoaks.

            Perlu diketahui, yang dimaksud dengan saring dalam metode ini ialah tidak dalam konteks merampingkan ataupun menyusutkan suatu informasi, tetapi padanannya lebih ke istilah saring dalam konteks refine (bahasa inggris) yang berarti adalah proses membuang elemen-elemen yang tidak diinginkan sehingga benar-benar diperoleh hasil yang murni. Hoaks biasanya memalsukan informasi yang dibuat dengan cara mengubah informasi asli dengan menambahkan atau mengurangi informasi tersebut. Secara singkat, metode ini teraktualisasi ke dalam 3 (tiga) proses yaitu proses mengidentifikasi, mengecek silang, menyaring suatu informasi menjadi sebenar-benarnya informasi tersebut.

            Pada praktiknya, dalam pengunaan sehari-hari, langkah pertama yang bisa kita lakukan ialah mengidentifikasi apakah suatu informasi itu benar atau tidak dengan memperhatikan tema, topik atau bahkan judul yang tertera. Biasanya tema atau topik yang diangkat adalah terkait tentang isu kontroversial atau isu hangat yang sedang diperbincangkan oleh masyarakat. Diksi pada judul yang digunakan juga cenderung menggunakan kata-kata yang provokatif. Yang lebih parahnya lagi, bila kita menelaah informasi hoaks tersebut, biasanya disampaikan secara biasatau tidak netral, hanya berdasarkan sudut pandang atau tujuan tertentu. Oleh karena itu, apabila kita mengakses atau memperoleh suatu informasi dari internet dan terindikasi dengan ciri-ciri di atas, ada baiknya dilakukan proses selanjutnya yaitu pengecekan silang.

            Proses pengecekan silang adalah langkah yang digunakan dengan cara membandingkan informasi dari suatu sumber dengan satu sumber lainnya. Misalnya apakah di sumber lainnya juga membahas hal yang sama. Perlu dicatat, informasi yang kita peroleh sebaiknya berasal dari sumber resmi yang terpercaya dan juga memiliki kredibilitas. Sebagai contoh, informasi dari situs halaman resmi kementerian atau pemerintah, situs berita resmi seperti antaranews.com, laman informasi media yang memiliki kredibilitas seperti republika.com, kompas.com, liputan6.com, dan laman lain yang telah terverifikasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dan Dewan Pers Nasional.  Langkah preventif ini bisa dilakukan juga dengan bantuan mesin pencari seperti Google. Dengan mengetikan kata kunci judul artikel, kita bisa mengecek darimana sumber berita itu pertama kali diunggah, sehingga kita dapat menelusuri apakah sumbernya itu nanti adalah sumber yang benar terpercaya atau hanya dari situs 'abal-abal'. Google saat inipun telah gencar dalam memerangi hoaks dengan mengembangkan sistem bernama "Fact Check". Facebookpun, sebagai salah satu media sosial dengan pengguna terbesar sedang  mengembangkan  toolkhusus anti hoaks, seperti dilansir pada laman berita daring kompas.com, tanggal 10 April 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun