Sepuluh tahun Kompasiana. Sebagai anak bawang yang lancang, rasanya keterlaluan kalau tidak ikut memberi ucapan. Xixixi~
Jujur, saya tidak ingat kapan pertama kali bersua dengan Kompasiana. Sepertinya cukup lama, sekitar delapan tahun lalu, setelah melepas usia tujuh belas.
Waktu itu, saya hanya menatapnya penuh tanya, tanpa tindakan apa-apa. Sekadar tahu saja, bukan tempe. Seperti berpapasan dengan artis film yang tidak kamu ingat namanya, sedang baca buku di taman kota.
#1
Lalu, saya mulai melirik Kompasiana, ketika meninggalkan salah satu kubikel di Jakarta Selatan dan menjadi penulis lepas. Awalnya, saya terpukau pada Kompasiana bukan karena konten atau nama besar, melainkan keunggulan SEO.
Ya, atas alasan itu pula saya hadir dan ikut memanfaatkan "panggung" ini sejak Februari 2018.
Hingga di awal September 2018, saya memilih berhenti dari industri pemasaran digital dan kembali bermain-main dengan fiksi. Yang lantas, bersambut baik.
Label artikel utama pada cerpen pertama yang saya tayangkan, terasa seperti dekapan hangat, ucapan selamat datang, yang menjadikan saya betah dan bertahan.
Sebagai digital nomad a.k.a gelandangan virtual newbie yang berniat sekadar mampir di Kompasiana karena tuntutan pekerjaan, saya malah dibuatnya terpikat dan terpukat.
#2
Tapi, meski sadar penuh dengan rayuan-rayuan mautnya, saya tetap saja luluh dan leleh. Saya terus menulis dan menulis, hingga tanpa sadar saya tengah melukis. Ya, melukis.