Sudah kuduga, menemani kesepian yang tengah sendirian di atas bukit menjadi perihal yang menyenangkan.
Karena, berbeda denganku, kesepian tidak memiliki cukup permintaan. Dan, kami sama-sama tidak membutuhkan banyak percakapan.
Aku hanya perlu duduk, bernyanyi sembarangan, sembari sibuk merajut jaring yang terbuat dari rambut panjang. Masih segar, baru kupotong kemarin malam. Hitam-putih-kelabu bersilangan.
"Apa yang hendak kau jaring, Puan?" Kesepian bertanya datar, wajah sayu yang selalu muram itu tidak pernah mengulas senyuman. Kasihan, dia benar-benar sendirian. Tidak ada kabar, kebahagiaan, bahkan rindu pun malas bertandang.
"Aku ingin menjaring awan, memintalnya menjadi benang, lalu kutenun menjadi kain yang lembut dan nyaman," jawabku seraya memandangi gumpalan-gumpalan putih yang stagnan di atas sana.
"Untuk apa kain itu?"
Aku tersenyum, rupanya kesepian masih punya rasa ingin tahu. "Mendekatlah, ini rahasia," aku berbisik penuh kebanggaan. "Dengan jubah yang terbuat dari awan, aku akan bisa terbang."
Kesepian terdiam. Kembali menjadi dirinya yang selalu bungkam. Tanpa buncah, tanpa gairah. Menekuri kesendirian yang baginya keindahan.
Tidak masalah. Aku dapat kembali berkutat dengan jalinan mata jala, sembari berkidung tentang nestapa, tentang mereka.
Tentang dandelion yang rela melepaskan anak-anaknya. Tentang pohon oak yang semakin tua. Tentang burung-burung yang pergi dari sarangnya.
Segala berkelana, menuruti kehendak angin. Terombang-ambing di lingkup pusaran, berandai-andai memiliki pilihan.