Suara perempuan itu memburai kembali dalam lobus temporal. Kutampik pertanyaan tentang siapa, dan berupaya mencari makna. Perlahan, aku mengeja metafora, memilah satu demi satu kata-katanya.
Gagal.
Dalam kondisi pengetahuan, kenangan, dan jalan pikiran yang masih terdegradasi oleh mesin karantina, aku belum sanggup membaca apa-apa kecuali yang tertata.
Aku melirik jam dinding di sisi kanan ruangan.
Masih ada waktu 15 menit sebelum aku tampil sebagai Nyai dalam Perayaan Para Perempuan. Memimpin perhelatan, demi meyakinkan Daisy, Lily, dan Putri, bahwa aku masih selaras dengan algoritma yang mereka percaya.
Tapi ... aku harus bagaimana?
Bukannya menyusun rencana, aku malah gemetar tak karuan karena suguhan semangkuk kari--yang entah diracik dari daging siapa lagi. Mengerikan dan memuakkan.
Hanya saja, pastilah kurang syahdu jika nanti aku terkapar karena mati kelaparan.
Ada baiknya, aku makan dengan nasi saja. Hambar, sih. Tapi yang jelas, nasi tidak akan mereduksi hawa manusiawi yang sudah tinggal sisa-sisa ini.
Lagipula, kesyukuran akan membuat semua makanan menjadi lezat, bukan?
Aku memejamkan mata, menikmati suapan demi suapan. Terbebas dari belenggu, ada rindu yang tumpah ruah. Wajah Bapak, wajah Ibu, dan tawa pada masa ketika dunia sesederhana berbagi rasa.