Tidak ada pilihan lain.
Setelah menerima tantangan Daisy untuk menjadi Nyai, aku diberi privilese untuk menghuni satu-satunya Royal Suite Room dalam The Good Hell. Yang tentu saja, jadi terasa kelewat mewah. Terutama bagiku, yang kadung biasa dengan bau jamur di kamar En.
Sungguh kontras, seperti bumi dan kahyangan. Ruangan ini laiknya peraduan orang-orang mulia dalam legenda. Interior dengan gaya Victoria, berpadu magis dengan vas-vas besar berisi rimbunan mawar merah segar yang berselingan dengan gypsophila yang putih menawan.
Menakjubkan, sekaligus mencurigakan.
Instingku mengatakan, mereka sengaja menyamarkan bau darah--yang menguar dari jendela--dengan harum oksida mawar. Menutupi semerbak busuk organ-organ tubuh yang berceceran di sudut-sudut karang. Â
Huh, alih-alih bertindak sebagai aromaterapi, seruak wangi ini justru membuat kepalaku tersayat. Melelehkan tanda tanya besar, berbarengan dengan tanda seru yang menghujam.
Bagaimana aku dapat bertahan?
Sejak luapan informasi dan memori datang kembali bertubi-tubi, segala yang terjadi menjadi sulit aku kenali. Termasuk diri sendiri.
Berkali-kali, aku ingin menyadari bahwa segalanya hanya ilusi, namun rasa mual dan debar jantung ini begitu nyata. Bukan sekadar hologram atau perihal program yang gagal.
Dan lagi, jauh tertimbun di dalam sana, ada yang menganggu. Sesuatu yang akrab, namun terasing oleh sinapsis yang begitu bising.
Kelemahan mereka ada pada dungu-dungu yang menolak untuk memiliki jeda. Singkirkan distraksi. Sekali mereka memahami, tuntaslah segala misi dan kisi yang kau ingini.