Aku terengah-engah mengikuti langkah Daisy dan rombongan perempuan hasil eksperimen gagal Bulan Sabit Perak.Â
Alih-alih menyegarkan, debur ombak di pantai ini terdengar bagai genderang yang memprovokasi peperangan.
Aku mengeja napas. Pikiranku mengembara menuju museum, mengingat percakapan ganjil sebelum aku meninggalkan Geni.
Apakah dia benar-benar mengerti dan bisa dipercaya?
***
Geni tergugu, kehilangan kata-kata. Aku masih melihat semburat tidak percaya, takjub, dan ketakutan yang bergumul di wajahnya, mengukir ekspresi yang tidak biasa.
"Sebaiknya kamu sadar, karena aku benar-benar butuh bantuanmu sekarang," Aku berkata tidak sabar.
Tidak ada yang boleh berlama-lama dengan keterkejutan. Rencana Bulan Sabit Perak berada di ujung jurang. Seluruh entitas yang kami ciptakan telah memiliki kognisi masing-masing untuk melawan.
Bergerak di luar dugaan dengan miliaran probabilitas yang mengerikan.
Geni meraih gelas di resepsionis museum, berjalan terhuyung menuju dispenser, mengisinya hingga penuh, dan menegaknya tak bersisa.
"Baiklah, En. Beri aku 15 menit untuk mencerna kembali kisah fantasi yang baru saja kamu utarakan. Sekarang, izinkan aku ke toilet." Wajah Geni mulai kembali normal, namun menyematkan kebohongan.
"Tidak. Aku bukan makhluk bodoh seperti yang kamu kira. Aku tahu kamu merekam ceritaku. Putar kembali, sekarang, di sini," tuturku datar, menatapnya tajam. Kulawan sisa-sisa sifat En dalam diriku, dan kembali menjadi Nebula. "Dan ingat, Geni. Semua ini nyata."
Geni terpaku. Raut bodoh itu menyulut deja vu kebencianku pada makhluk dungu berlabel laki-laki.
Tangan Geni mengeluarkan sebuah pulpen atom dari saku, kamuflase alat perekam suara yang biasa digunakan orang-orang bau yang mengaku bernama detektif.
Di hadapanku, Geni menekan sebuah tombol. Selama beberapa detik, suaraku bercampur dengan bunyi gemeresak.
"Krsssk ... krrsk ... Aku mahfum jika kamu tidak sepenuhnya paham tentang ini, Geni. Bulan Sabit Perak adalah bentuk solidaritas.
"Kami, para perempuan yang menolak kalah. Kami, yang patah hati, sadar akan hak-hak kami yang sekian lama dirampas oleh kaum laki-laki. Hak untuk bersuara, hak untuk berpikir, serta hak untuk bebas dari pandangan bahwa perempuan tidak lebih dari pajangan atau robot rumahan.
"Perasaan kami perih menyaksikan penindasan dan penjajahan pada kehormatan kaum perempuan. Industri telah mendegradasi izah kami menjadi segmentasi pasar yang mudah dipengaruhi.
"Pikiran kami dikekang oleh strategi pemasaran yang tidak berhenti menyuntikkan racun. Seolah, perempuan hanya terdiri dari fisik yang rupawan dan tutur kata yang menggoda iman.
"Tidak! Kami bukan maneken toko pakaian! Kami bukan boneka yang harus selalu berdandan manis bak gula-gula. Perempuan adalah jiwa, perempuan adalah pikiran, perempuan adalah nyawa.
"Tapi, kamu tahu, kekuatan kami terpenjara oleh stereotip buta ...
"Untuk itulah, Bulan Sabit Perak ada. Kami ingin menciptakan entitas perempuan yang tangguh, dan tahan banting. Anggun, sekaligus berani melawan. Perempuan-perempuan yang akan melahirkan generasi yang sadar, bahwa dunia butuh lebih dari sekadar kesenangan dan tawa-tawa yang melenakan.
"Maka, demi menciptakan mereka, kami melakukan eksperimen pada tiga tubuh perempuan pesakitan yang menjadi korban peradaban bar-bar. TKI yang sekarat di pelataran KBRI, PSK yang nyaris mati di hotel melati, dan satu lagi, seorang gadis yang kami temukan, hampir kehabisan darah ketika berupaya menggugurkan kandungan hasil pemerkosaan.
"Pikiran mereka kami instal ulang. Kami latih menjadi pasukan perempuan tak terkalahkan, yang kelak memperjuangkan hak-hak kaum kami dengan penuh keberanian.
"Kami beri mereka identitas dengan nama-nama bunga. Daisy, Lily, dan Mica, akronim dari Mimosa pudica, nama ilmiah putri malu, jika kamu tidak tahu.
"Tapi ... belum lama ini, malapetaka terjadi ... ada satu virus yang mengganggu sistem kami. Virus sialan bernama OZ.
"Virus yang menganggu algoritma pikiran tiga perempuan eksperimen itu menjadi buas dan liar. Haus darah.
"Dan setelah Larisa, aku ... harus turun tangan. Aku masuk ke dalam kehidupan mereka, meski harus menanggung risiko hilang ingatan. Ketika sadar, aku menemukan bahwa kekacauan telah terjadi begitu parah.
"Daisy, mengambil tindakan di luar kendali kami. Dia menggunakan mesin kami di rumah karantina untuk menciptakan perempuan-perempuan gila yang semakin cerdas, semakin buas.
"Kamu tahu, itulah mimpi buruk pada pengembangan artificial intelligence, kecerdasan buatan. Ketika  mereka terlampau cerdas untuk berpikir mandiri, dan bergerak atas kemauan sendiri, menciptakan entitas-entitas baru yang tidak akan bisa manusia bayangkan.
"Geni, jangan bengong! Kamu paham atau tidak?"
Rekaman suara terhenti. Aku mengais ingatan. Masih ada lubang-lubang pada memori yang mulai kembali. Efek samping mesin yang mengirimku ke dunia karantina. Sebagian diriku tersinkronisasi dengan persepsi ciptaan eksperimen.
Terasa berat untuk sekadar bernapas. Aku kasihan memandangi wajah Geni yang pias.
"Lalu, siapa kamu? Dan, siapa Larisa?"
"Kamu tidak perlu tahu nama asliku. Kode namaku Nebula. Sebut saja N. En. Larisa, kode nama rekan kerjaku, dia yang telah menjadi sosok Elfat. Sementara Aquila, saat ini menjaga markas Bulan Sabit Perak, sekaligus mengawasi rumah karantina. Dia pemrogram andalan kami. Dan, masih ada beberapa orang lagi yang belum kuingat. "
"Kalian menggunakan nama-nama astronomi?"
Aku tersenyum. Mengagumi analisis Geni. "Kamu tahu?"
"Ya, Baron tergila-gila dengan benda langit. Aku sering mendengar racauannya hingga tengah malam. Larisa, satelit Neptunus, dan Aquila, rasi bintang di dekat ekuator."
Aku menatap Geni dengan penuh kecemasan. "Aku harap kamu mau membantuku setelah mendengar semua ini."
Geni menutup muka, tampak berpikir keras. Ekspresinya kusut, kebingungan.
"Agenda terdekat, kita harus menemukan mereka. Sialnya, setiap kali aku bergabung, Lily selalu berupaya menyingkirkanku. Aku tidak paham, apa yang terjadi dengan program di pikirannya."
Belum sempat Geni menjawab, aku merebut telepon genggam di tangannya. "Sekarang, biarkan aku pergi."
Aku bergegas menuju pintu belakang, berusaha menghubungi Aquila. Tak bersambut.
Sementara di tepi jalan, sebuah mobil terpakir. Daisy menungguku dengan wajah gusar.
Entah sandiwara apa lagi yang kini harus aku mainkan.
.... bersambung.
***
N. Setia Pertiwi
Cimahi, 31 Oktober 2018
*Cerpen ini dibuat untuk bermain-main dengan rindu : Desol, Putri, Lilik,Peb, Mim, En.
Cerita terkait:
12. Pemberontakan El
13. Persembunyian yang Terlalu Dekat Neraka
14. Katastrofe Bulan Sabit Perak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H