Larisa terdiam, hatinya dikerubuti keraguan.
"Cepat kemari, lihatlah rumah yang kelak akan menjadi lokasi karantina mereka."
Nebula menyalakan komputer. Belum sempat ia berkata apa-apa, segalanya menjadi hitam.
Dari segala penjuru, terdengar nyaring jeritan perempuan. Bukan hanya satu-dua orang. Lima? Tujuh? Sepuluh?
Waktu berlompatan. Nebula menggeram, menatap rekaman CCTV. Terlihat Larisa terkulai lemas di hadapan Daisy yang telah menemukan ruang rahasia di rumah karantina itu.
Rencana mereka runtuh bagai gelembung yang rapuh. Kondisi terburuk terjadi, nasib Bulan Sabit Perak tengah dipertaruhkan. Mereka harus segera menyiapkan siasat untuk merapikan kembali kekacauan yang ditimbulkan Larisa.
Nebula meraih telepon, "Aquila, Larisa dalam bahaya. Daisy menggunakan mesin kita untuk mencuci otaknya. Aku harus turun tangan."
Nebula terentak. Dimensi ruang dan waktu mengalami dilatasi. Tubuh mungilnya tersedot memasuki lorong gelap dengan kecepatan tinggi. Lama, tanpa kepastian.
Selepas cahaya menyambut, mata Nebula terbelalak. Napasnya memburu, dengan dada kembang kempis.
Linangan air mata membanjiri bajunya, yang telah berganti dengan terusan khas bohemian.
"En, apa yang terjadi? Bagaimana caramu kembali ke sini?" Suara laki-laki menarik kesadarannya. Geni.