Kaki mungil cokelat tua pelan-pelan menuju gerbang. Gadis manis yang lahir dari rahim tragedi, memeluk sempurna pagar besi. Matanya yang penuh mimpi mencari-cari.
Kata orang, di dalam sana ada jendela-jendela yang terhubung dengan benua Amerika. Kata Ibu, kami dapat menggunakan suara dari langit dan samudra. Kata Bapak, pintu-pintu makna jalan pintas menuju angkasa.
Lorong-lorong yang terang, bukan gorong-gorong yang gempar oleh lolong kelaparan.
Dia menunggu, dan menunggu. Barangkali, setelah dentang ke sekian akan dimulai festival kuda-kuda terbang.
Dia menunggu, dan menunggu. Barangkali, parade awan-awan akan bertandang menabur berlian.
Dia menunggu, dan menunggu. Barangkali, arak-arakan bintang akan terhelat menakjubkan.
Dia menunggu, dan menunggu. Bersenandung pilu bersama waktu yang mulai menggerutu.
Lonceng terakhir berbunyi. Sumbang dan lantang.
Diikuti gemuruh derap langkah lelah, mengalah pada perkara-perkara yang entahlah. Berjalan pasrah, jiwa-jiwa yang resah dan digerogoti gelisah.
Anak-anak yang lesu dan bisu. Malang, dan lupa cara menjadi riang. Memasuki omprengan mahal yang tersengal, terbatuk mengeluarkan racun yang siap menghitamkan organ-organ pernapasan.
Mereka menjadi tua, dan enggan beranjak dewasa.
Gadis kecil itu tergugu. Mundur teratur, menyelamatkan mimpi-mimpi yang menolak hancur.
Ukulele di tangan berkidung tentang perak di langit mendung.
Gadis kecil bernyanyi, hujan-hujan, dan mulai menari-nari.
Bersama senarai mimpi di serambi kota, ia menyambut malam yang akan datang juga.
Tanpa kehilangan, tanpa keinginan.
***
N. Setia Pertiwi
Cimahi, 28 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H